Senin, 27 Februari 2012

Perang Tombak di Sumba Barat

Berita Sumba - Dua kelompok itu saling memegang tombak kayu berdiameter sekitar 1,5 centimeter dengan ujung yang tumpul. Setiap kelompok yang terdiri sekitar 100 orang itu memiliki satu peraturan 'perang.'Yakni, mereka yang telah jatuh, dilarang untuk diserang.

Itulah sekelumit laga dalam Perang Pasola, ritual adat masyarakat Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, untuk meminta restu Yang Maha Kuasa agar mendapat hasil panen yang baik.

Ritual ini merupakan bagian dari keyakinan warga Sumba penganut agama asli yang disebut Marapi. Ini merupakan ritual tak terpisahkan setiap tahun yang berlangsung sekitar bulan Februari atau Maret.

Mengapa ritual ini digunakan untuk memanjatkan agar hasil panen dapat melimpah? Dalam setiap tombakan yang mengenai lawan, darah akan bercucuran dari korban. Darah yang menetes itulah diyakini bisa menyuburkan tanah dan bermanfaat untuk panen.

Pasola sendiri berasal dari kata Sola atau berarti kayu. Dengan mendapat awalan 'Pa' kata Pasola memiliki arti permainan ketangkasan yang menggunakan kayu seperti alat olahraga lembing.

Ritual turun-temurun yang terus digelar dengan baik ini juga menjadi alat perekat bagi warga Sumba.
• VIVAnews
Read More >> Perang Tombak di Sumba Barat

Selasa, 31 Januari 2012

Wisata Alam di Sumba barat

Banyak potensi wisata alam di Sumba Barat seperti pantai-pantai berpasir putih, danau, air terjun, kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, bukit-bukit serta lembah-lembah yang hijau.

1. Pantai Marosi yang terletak di Kec.Lamboya, sekitar 32 Km dari Waikabubak. Pantai Marosi merupakan salah satu pantai tercantik di Sumba Barat. Pantai ini dekat dengan arena Pasola Hobba Kalla (Pasola Lamboya) serta sejumlah perkampungan tradisional.

Pantai Marosi

 2. Pantai Rua yang terletak di Kec. Wanokaka. Karena jaraknya yang relatif dekat dengan Kota Waikabubak yaitu sekitar 27 km, maka pada hari libur pantai ini menjadi alternatif utama bagi para wisatawan lokal yang ingin melepas penat sambil berenang, memancing dan berjemur matahari. Dari Waikabubak dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 1 jam perjalanan.

Pantai rua


3. Pantai Nihi Watu juga terletak di Wanokaka. Pantai yang terletak di desa nelayan kecil dan merupakan teempat dilaksanakannya upacara Nyale pada dini hari menjelang Pasola. Terletak 21 Km sebelah Selatan kota Waikabubak. Ombak di tempat ini merupakan salah satu yang tercepat di mana pun. Tidak diragukan kalau Nihiwatu merupakan salah satu pantai dengan ombak terbaik di Indonesia dan bahkan dunia. Tak hanya berselancar, tempat ini juga memungkinkan dinikmati untuk berbagai aktifitas mengasyikkan lain seperti mengendarai kuda di pantai, memancing, menyelam, mengamati burung, bersepeda gunung hingga trekking ke air terjun.

Pantai Nihi Watu

 4. Air terjun Laipopu terletak di desa Katiku Loku, Kec. Wanokaka, tepatnya di Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Air terjun yang berada di kawasan TNMT ini mempunyai keunggulan berupa keindahan dari lintasan air yang bertingkat-tingkat sehingga menebarkan butiran air ke berbagai arah. Debit air yang selalu stabil di sepanjang musim menyusun indahnya lumut dan tumbuhan yang menghijau di sekitar objek air terjun.

Air Terjun Laipopu

Hal yang dapat dilakukan adalah menikmati indahnya air terjun dengan berfoto, melakukan pijat air dan merasakan dinginnya air dengan mandi pada sekitar air terjun yang relatif aman bagi pengunjung.

Perjalanan menuju air terjun Laipopu ini memberikan tantangan tersendiri dimana setiap wisatawan yang akan mencapai objek ini dihadapkan pada jembatan gantung yang terbuat dari bambu, menyusuri lintasan berair dan melewati tegakan yang tersusun dari pohon-pohon berkayu. untuk mencapai Air Terjun Laipopu dapat ditempuh kurang lebih 45 menit dari pemukiman penduduk melalui trail yang variatif.

Potensi lain yang dapat dinikmati wisatawan adalah habitat burung kakatua, bentang sawah dan hasil kerajinan masyarakat Desa Katikuloku berupa kain tenun dan anyaman.

Akses menuju lokasi air terjun relatif mudah, dari Waikabubak dapat menuju Desa Katikuloku dengan angkutan umum selama kurang lebih 60 menit. Jalan yang dilalui berupa jalan aspal dan jalan perkerasan. Sedangkan wisatawan dari Kota Waingapu dapat melalui rute Waingapu-Waikabubak-Katikuloku dengan menggunakan jalan darat.


sumber: kaskus.us
Read More >> Wisata Alam di Sumba barat

Senin, 30 Januari 2012

Mengintip Pembuatan Rumah Adat Sumba

By: Joko Hendarto
Sepasang Rumah Adat Sumba, Ratenggaro, Kodi, SBD
Dua hari yang lalu saya diajak seorang rekan menyaksikan prosesi pembuatan rumah adat sumba di kampung Ratenggaro, Kodi, Sumba Barat Daya. Ratenggaro sering dilafalkan jadi “Ratenggarong”, sebuah pelafalan yang keliru kata teman saya. Harusnya, “Ratenggaro atau Rategaura”, rate berarti kuburan dan Gaura adalah tempat asal orang pertama yang menghuni kampung itu.
Ratenggaro atau Rategaura adalah salah satu kampung tua di wilayah Kodi. Kini kampung itu dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata, selain rumah-rumah adat yang berbentuk menara, kampung itu pun terletak dekat dengan pantai yang begitu indah dengan pasir putihnya. Dulunya kata teman saya, kampung mereka berada tepat dipinggir pantai, namun karena pengaruh abrasi, maka kampung itu pun dipindahkan agak kedalam. Itu pun katanya melalui prosesi dan upacara adat yang luar biasa ramainya. Makanya jangan heran melihat kuburan batu yang pas di pinggir pantai, ternyata dulu itu adalah bekas kampung.

Kerangka Rumah Adat dari Bambu dan Kayu Bulat

Rumah adat bisa dikatakan sebagai sentral kehidupan orang Sumba, segala hal yang terkait dengan adat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh adat dan kepercayaan “Marapu” yang biasanya tinggal di salah satu rumah di kampung adat seperti Ratenggaro ini. Rumah adat Sumba biasanya berbeda dengan rumah biasa. Berbentuk menara, dan disana biasanya ada tanduk kerbau di simpan juga tengkorak babi yang pernah dikorbankan saat upacara. Bahkan konon dahulu kala, kepala musuh yang berhasil dipenggal saat perang juga disimpan di langit-langit rumah adat. Hal yang tentunya tak akan lagi kita temukan sekarang.
Membangun rumah adat baru ternyata bukan prosesi yang mudah. Semuanya harus melewati serangkaian upacara yang rumit. Bahkan menyiapkan bahan-bahan bangunan untuk rumah itu pun tidak boleh sembarangan. Rumah menara setinggi 20 meter ini umumnya terbuat dari bambu bulat dengan tiang penyanggah yang juga terbuat dari kayu bulat. Orang-orang lokal menyebutnya “kayu kadimbil” berusia tua. Atapnya tak boleh dari bahan lain selain alang-alang.

Gotong Royong Mengatapi Rumah
Saya kadang membayangkan betapa susahnya membuat kontruksi rumah adat setinggi 20 meter itu tanpa menggunakan paku dan kayu lain selain bambu untuk rangka atap. Kata teman saya tidak boleh menggunakan paku dalam pembuatan rumah adat. Semua bahan mulai dari atap dan lainnya diikat dengan tali dari semacam kulit pohon yang kuat. Di bagian atap, rangkanya murni dari bambu, penambahan bahan lain dari kayu harus mendapat izin dulu dengan melakukan upacara dimana disana harus ada kurban hewan.
Saat saya berkunjung, ada dua rumah adat yang hendak dibangun. Katanya ada donatur dari Jakarta yang berbaik hati membiayai pembangunan rumah itu. Sepasang rumah, dianggap sebagai representasi laki-laki dan perempuan. Kalau ditaksir bisa jadi memakan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk setiap rumah lengkap dengan kerbau dan babi yang akan dipotong untuk memberi makan para pekerja dan anggota keluarga dari rumpun kampung itu yang datang berkunjung.

Beberapa Orang Membantu Melemparkan Alang
Sangat terasa sekali kemeriahan dan  nuansa kegotongroyongan dalam pembangunan rumah adat itu. Saya paling suka teriakan mereka bersahut-sahutan untuk saling menyemangati. Beberapa orang melemparkan alang yang telah diikat dari bawah rumah dengan riang, lalu ditangkap oleh mereka yang telah berada diatas kerangka atap untuk diikatkan. Gong dan tambur tradisional pun tak henti dibunyikan, menambah semarak acara itu. Bahkan ada yang beberapa orang yang menari sambil mengayun-ayunkan parang mengikuti irama gong dan tambur sambil berteriak-teriak dalam bahasa Sumba. Mungkin memberi semangat para pekerja untuk cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Salah Satu Hewan yang Akan Dikurbankan
Uniknya, sebelum seluruh rumah adat itu diatapi, orang tak boleh makan, hewan belum boleh dipotong, hanya boleh minum kopi yang telah disediakan tuan rumah. Bukan cuma untuk pekerja namun untuk seluruh orang dan tamu yang hadir di tempat itu. Saat saya meninggalkan pembuatan rumah itu sore hari, rumah belum juga diatapi, jadi mungkin mereka makan sore atau malam harinya.
Menarik mendapat kesempatan menyaksikan pembuatan salah satu rumah adat Sumba ini, kata teman saya rumah yang satunya akan mulai diatapi dengan upacara serupa awal November nanti. Jika saat itu anda kebetulan di sumba, tak ada salahnya berkunjung dan menyaksikannnya secara langsung. Salam dari Sumba. 
 
 
sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/25/mengintip-pembuatan-rumah-adat-sumba/
Read More >> Mengintip Pembuatan Rumah Adat Sumba

Pulau Seribu Kuda, Sumba

Pernahkah Anda menyaksikan  film cowboy di TV yang sarat dengan adegan aksi kejar-kejaran dia tas kuda?. Para pemain  di film itu akan saling tembak-menembak  dan memacu kudanya secepat-cepatnya. Kuda  kuda handal ditampilkan bersama aktor utama dalam film-film tersebut. Ternyata  kuda-kuda andalan seperti itu bukan hanya ditemukan dibarat saja. Yang menarik,  di negeri  kita sendiri terdapat kuda andalan yang tidak kalah dengan kuda dari barat. Nah kuda - kuda tersebut paling banyak kita temui di Sumba.

Siapa yang tak kenal Sumba? Sumba identik dengan sabana yang luas serta ternak yang berkeliaran bebas di padang rumput. Hamparan ribuan hektar padang sabana tidak saja menjadi habitat pengembaraan hewan, tetapi juga menjadi pesona alam nan indah. Kuda memang segalanya bagi masyarakat Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Hewan ini tidak semata - mata digunakan untuk mengangkut barang, tetapi juga sebagai hewan tunggangan dan pacuan.


Dari berbagai jenis kuda di dunia, kuda Arab dapat dianggap sebagai cikal bakal kuda-kuda yang ada di Sumba saat ini. Kuda di Indonesia dipengaruhi iklim tropis serta lingkungan. Kuda yang terdapat di Sumba dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya termasuk ras timur. Berbeda dengan kuda ras Eropa dan Amerika yang memiliki tengkorak lebih besar.

Tinggi badannya berkisar 1,15 - 1,35 meter sehingga tergolong dalam jenis poni. Bentuk kepala umumnya besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup serta daun telinga kecil. Ciri-ciri lain, bentuk leher tegak dan lebar. Tengkuk umumnya kuat, punggung lurus dan pinggul kuat. Letak ekornya tinggi dan berbentuk lonjong, dada lebar, sedang tulang rusuk berbentuk lengkung serasi.


Kakinya berotot kuat, kening dan persendiannya baik. Sedangkan bentuk kuku kecil dan berada di atas telapak yang kuat. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikapnya yang kurang serasi (kurang baik), karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan dengan kaki belakang. Sikap berdiri seperti ini terdapat pada berbagai jenis kuda di Asia Tenggara, termasuk di Sumba. Kuda ini juga memiliki daya tahan (endurance) yang istimewa. Warna rambutnya bervariasi: hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko). Dengan bentuk postur tubuh kuda tersebut, maka beberapa masyarakat Sumba menyebutnya Kuda Sandel, atau lebih lengkap kuda Sandalwood pony. Selain itu nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan cendana ("sandalwood") yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.

Sampai dengan saat ini, kuda-kuda di Sumba hidup bebas di padang pengembalaan.  Kuda-kuda ini sering digunakan dalam ritual “Pasola” yaitu suatu jenis permainan rakyat yang sangat keras. Dimana dua kubu berlawanan secara adat dengan cara mengendarai kuda, masing-masing memacu kudanya dan saling melempar, menghajar dengan kayu (sola) secara keras di tubuh lawan.


Kuda bagi orang Sumba, awalnya  hanya digunakan sebagai alat transportasi. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan orang Sumba, kuda tidak hanya sebagai alat transportasi tetapi juga dipakai sebagai mahar (belis), sebagai cendera mata untuk urusan adat seperti perdamaian dan untuk bawaan saat menghadiri upacara penguburan. Bahkan kuda bagi orang Sumba dianggap sebagai kendaraan leluhur. Bahkan supaya masyarakat selalu ingat akan binatang ini, pemerintah setempat membuat tugu kuda di pusat kota.

Sebuah tantangan berat agar kuda sandelwood tidak punah, atau hanya menjadi barang langka bahkan hikayat yang menjadi perbincangan di masa depan. (wagner-febi supit/FB/bd)


sumber: http://beritadaerah.com/budaya/bali/38233
Read More >> Pulau Seribu Kuda, Sumba

Pasola, Permainan Perang Sumba

Mutya Hanifah - Okezone
JIKA berkesempatan mengunjungi Pulau Sumba, di Provinsi Nusa Tenggara Timur, jangan lewatkan untuk menonton tradisi khas pulau ini, yaitu Pasola.

Pasola adalah permainan perang-perangan antara dua kelompok yang menaiki kuda dan saling melempar lembing di sebuah padang rumput. Pasola berasal dari kata "sola" yang berarti tombak kayu, dan kemudian mendapat imbuhan "pa", sehingga artinya secara harafiah menjadi permainan ketangkasan menggunakan lembing.

Tradisi Pasola ini bermula dari legenda yang berkembang di Pulau Sumba. Menurut cerita, jaman dahulu di pulau ini ada seorang janda cantik yang bernama Rabu Kaba.

Wanita cantik ini sebelumnya adalah istri dari Umbu Dula, salah satu pemimpin warga Waiwuang, salah satu desa di Pulau Sumba. Suatu hari Umbu Dula pergi bersama saudara-saudaranya ke laut, namun mereka tak kunjung pulang. Setelah dicari dan tidak ditemukan, warga sepakat menganggap mereka telah tiada.

Setelah itu, Rabu Kaba yang telah menjadi janda kemudian menjalin kasih dengan Teda Gaiparona, pemuda dari Kampung Kodi. Namun hubungan mereka tidak disetujui oleh Desa Waiwuang. Mereka pun kawin lari ke Kampung Kodi.

Tak lama setelah Rabu Kaba pindah ke Kampung Kodi, Suami pertamanya yang dikira telah meninggal, Umbu Dula, ternyata masih hidup dan telah kembali ke Desa dan mendapati istrinya telah menikah lagi.

Umbu Dula kemudian mendatangi Teda Gaiparona bersama seluruh warga Waiwuang untuk meminta pertanggung jawabannya karena telah membawa lari istrinya.

Setelah berdebat, akhirnya disepakati bahwa Teda Gaiparona harus mengganti mas kawin yang telah diterima Rabu Kaba dari Umbu Dula. Setelah mas kawin dibayar, Teda Gaiparona berpesan kepada warga kedua kampung agar melaksanakan Pasola, tujuannya supaya tidak ada lagi dendam diantara kedua kampung tersebut.

Selain berdasar dari legenda rakyat tersebut, Pasola juga sebenarnya bagian dari ritual kepercayaan agama lokal masyarakat Sumba, Marapu. Ritual Pasola ini menurut kepercayaan Marapu dilakukan setelah pesta adat bau nyale, untuk memohon restu para dewa agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.

Dalam permainan perang-perangan ini, tak jarang ada yang terluka akibat terkena tombak sepanjang 1,5 meter. Namun, darah yang mengucur akibat bermain Pasola justru dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Selain nilai sakral dan tradisional, permainan adat Pasola ini juga merupakan elemen penyatu masyarakat Sumba.

Pasola diadakan di empat kampung di Kabupaten Sumba Barat, yaitu Kampung Kodi, Kampung Lamboya, Kampung Wanokaka, dan Kampung Gaura. Biasanya adat ini dilaksanakan setiap tahun antara bulan februari dan maret, bertepatan dengan upacara adat Nyale. (dikutip dari berbagai sumber)
(rhs)

Read More >> Pasola, Permainan Perang Sumba

"Jantung" Kehidupan Orang Sumba

Oleh: Kornelis Kewa Ama

Kampung Adat Bukabhani di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya
Kampung adat di Sumba diyakini sebagai kampung para leluhur. Kampung ini memiliki kekuatan supernatural. Segala kegiatan yang melibatkan warga berawal dari rumah kepala kampung yang disebut rumah rato yang terletak di tengah kampung. Rumah adat itu ibarat ”jantung” kehidupan warga Sumba.
Di tengah dan pinggir kampung terdapat kubur batu megalitik. Batu-batu untuk penguburan leluhur ini diambil dari batu alam asli. Batu-batu itu berbentuk ceper tak beraturan, berlumut dan kehitaman. Di atas batu tersebut diletakkan sirih, kapur, dan pinang untuk leluhur. Batu-batu ini adalah kuburan leluhur yang meninggal ratusan tahun silam.
Tidak semua orang boleh menginjakkan kaki atau berada di atas batu-batu ceper yang berukuran sedang di tengah kampung ini. Para tamu pun tidak boleh sembarangan mengambil gambar di lokasi tersebut.
Setiap tamu wajib memberi upeti (uang) kepada rato. Uang diletakkan di dalam tempat khusus sirih pinang. Jumlah uang tergantung tamu. Setelah itu, tamu boleh berbicara dengan rato, didampingi istri rato dan sesepuh adat kampung.
Kepala Kampung juga ketua adat disebut Rato Nale (Nyale). Rato artinya raja (penguasa), nale (nyale) artinya cacing (ikan) laut. Rato Nale dari Kampung Bukabhani, Kecamatan Kodi, Sumba, bernama Nggeru Ndongu (78).
Rumah sakral
Ditemui di kampung adat Bukabhani, Senin (28/2/2011), Ndongu mengatakan, kampung adat adalah tempat tinggal para leluhur. Kehadiran mereka ditandai dengan batu ceper asli (alamiah) menyerupai meja, dengan penopang tiga tiang batu atau gundukan batu lain.
”Di dalam tanah, persis di bawah meja batu ini, terdapat tulang belulang berusia ratusan tahun. Tidak hanya itu, hampir seluruh bagian bawah tanah di kampung yang berukuran 100 meter x 200 meter ini terdapat tulang manusia. Tempat ini sangat keramat,” kata Ndongu.
Semua jenis tumbuhan dalam kampung diyakini memiliki kemampuan menyembuhkan. Jika ada warga kampung sakit, terluka saat upacara pasola di lapangan, digosok dengan serat batang tumbuhan atau daun itu.
Rumah rato disebut juga rumah nale. Rumah itu ibarat ”rumah sakit” warga kampung. Jika ada warga kampung yang sakit berat, ibu sulit melahirkan, warga kampung ingin bepergian jauh, pembahasan upacara pernikahan, dan perang antarkampung harus dilakukan di rumah rato itu.
Bibit padi, jagung, kacang, atau tanaman lain disimpan di bagian loteng, tempat tinggal para leluhur atau merapu. Bibit ini mendapat berkat dari leluhur agar menghasilkan buah yang berlimpah untuk kesejahteraan warga.
Kubur batu yang mengelilingi kampung adat sebagai lambang perlindungan leluhur. Sampai 1950-an selalu terjadi perang antarsuku (kampung). Perang itu melibatkan fisik, juga menyertakan kekuatan gaib antarleluhur kampung. Di sini, hubungan harmonis dan kedekatan dengan leluhur sangat menentukan.
Pelaksanaan pasola (perang tanding dua kelompok suku) selalu mendapat petunjuk leluhur. Itu diawali dengan munculnya nale. Kehadiran nale dipadukan dengan mimpi sang rato dan posisi bulan, tepat tegak di atas rumah adat rato itu.
Setiap bahan bangunan dari kampung adat diambil dari hutan. Tidak boleh menggunakan paku, seng, besi, atau semen. Tiap bahan bangunan yang diambil mendapat izin dari leluhur agar rumah itu tak mendatangkan bencana bagi penghuninya. Meski memiliki ketinggian sampai 30 meter, rumah-rumah itu tidak ambruk diterjang angin kencang.
Rumah rato memiliki tiga tiang utama yang disebut tiang payanu, simbol norma dan hukum (keadilan), ”mataku” simbol keadilan, matangu uhu wei manu, simbol kesejahteraan di bidang pertanian dan peternakan. Kepemimpinan rato harus mencerminkan norma hukum, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan warga.
Menara rumah disebut kawuku uma atau hindi marapu, tempat tinggal para arwah leluhur, anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Di puncak ini disimpan arca-arca leluhur, harta benda, dan benda purbakala yang memiliki nilai mitis magis.
Bukabhani merupakan kampung adat tertua di Sumba Barat Daya (SBD). Rato Nggeru Ndongu sebagai pemimpin semua rato dari sejumlah kampung adat. Ia memiliki kemampuan khusus, seperti meramal suatu peristiwa yang bakal terjadi, atau membaca tanda-tanda alam.
Berangsur sirna
Sampai 1970-an, kampung adat Bukabhani diyakini sebagai kampung terkeramat, dipercaya memiliki kekuatan supernatural. Bayangan para tamu dari luar tidak boleh menyentuh kubur batu yang berserakan di kampung adat itu. Sang rato harus membacakan doa (mantra) sebelum tamu-tamu masuk kampung. Jika tidak, sang tamu akan mendapat celaka setelah pulang.
”Perkembangan modern perlahan-lahan menggeser nilai-nilai mitis magis dari kampung ini. Sekarang, anak muda sulit diatur, terutama mereka yang sudah pergi ke kota besar atau menyebut diri sebagai pelajar atau mahasiswa. Mereka tidak peduli terhadap segala kepercayaan yang dianut orangtua di kampung,” kata Ndongu.
Kepala Urusan Pemerintahan Desa Atedalo, Kecamatan Kodi, SBD, Robert Ranggamone, mengatakan, dalam urusan adat, pemerintah desa selalu bergantung pada rato. Di Desa Atedalo terdapat dua kampung adat, yakni Bukabhani dan Tossi. Bukabhani merupakan kampung adat tertua di seluruh SBD, bahkan Sumba.
”Penyelenggaraan pasola baik di Sumba Barat maupun SBD selalu mendengar masukan dari Rato Bukabhani,” katanya.
Di Sumba Timur, tradisi pasola sudah lenyap puluhan tahun silam setelah agama Kristen masuk. Di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, budaya pasola masih hidup karena agama Katolik memberi kesempatan bagi budaya lokal untuk tumbuh dan berkembang.
Moses Wakar (23), warga kampung Bukabhani, menuturkan, kekuatan gaib yang diperlihatkan para leluhur makin sirna tahun demi tahun. Itu dikarenakan perkembangan zaman dan sikap generasi muda yang kurang perhatian terhadap adat.
”Upacara pasola, pemerintah sudah mengambil alih dengan alasan demi pariwisata. Sejumlah nilai budaya dan tradisi lokal diabaikan, seperti penentuan hari dan tanggal pelaksanaan pasola. Di Wanokaka, misalnya, pasola biasanya diselenggarakan bulan Maret, tetapi kini malah sudah diselenggarakan pada bulan Februari,” kata Wakar.
Read More >> "Jantung" Kehidupan Orang Sumba

Gaya Tenun Sumba

Wilayah timur Nusantara yang eksotis, selain terkenal dengan keindahan alam bawah laut dan hasil laut berupa mutiara yang elok, rupanya juga mempunyai kekayaan budaya berupa kain tradisional yang dibuat dengan cara menenun.
Kain tenun Sumba, secara garis besar dibagi menjadi Hinggi yaitu kain untuk pria dan dan Lau Pahikung yaitu kain untuk wanita. Selain itu, warna kain tenun Sumba juga sedikit banyak dipengaruhi oleh lokasi. Di Sumba Timur, biasanya kain tenun berwarna dasar hitam dengan motif berwarna, sementara di Sumba Barat, kain tenun berwarna dasar biru tua dengan motif berwarna.

Kain Sumba
Seperti daerah lain di Nusantara, pada masa lampau, kain Tenun Sumba mempunyai peranan cukup penting dalam kultur adat masyarakat Sumba. Selain sebagai busana sehari-hari, kain tenun Sumba juga dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adapt, sebagai mas kawin, juga digunakan ketika ada upacara kematian. Ketika seseorang meninggal, terlebih jika ia seorang Raja atau keturunannya, ketika dikubur, jasadnya harus dibebat dalam ratusan kain Tenun dalam posisi meringkuk, barulah jasadnya dikuburkan. Selain hal-hal tersebut, kain tenun Sumba juga digunakan untuk alat tukar dan pembayaran denda. Motif dan warna tertentu dalam kain Tenun, juga menunjukan strata sosial pemakainya, juga sebagai lambing penghargaan terhadap suku, yang diharapkan dapat menghindarkan mereka dari gangguan alam, bencana, roh-roh jahat dan hal-hal buruk lainnya. Kain tenun juga digunakan untuk penghargaan kepada tamu yang datang dari wilayah lain, sebagai penghormatan.
pemakaian Hinggi dalam sebuah upacara adat
 Keindahan kain Tenun Sumba, tidak lepas dari teknik pembutan dan motif yang ditampilkan. Pada pembuatan Hinggi, benang Lusi (warp) diikat untuk memperoleh desain gambar ketika benang tersebut dicelup pewarna. Setelah proses pencelupan, kain dikeringkan kemudian proses diteruskan dengan membuka kalita (tali ikatan) pada pola yang diharapkan akan dicelup warna berikut. Dua warna pada sebuah kain dengan motif tertentu dibentuk dengan cara mengubah posisi yang diikat.

Karena proses pengikatan ini ketika pencelupan, larutan pewarna meresap sampai ke pinggir benang yang terikat dan membuat warna menjadi sedikit membaur. Nah, ‘cacat’ inilah yang menjadi ciri khas motif ikat.
Sementara itu pada pembuatan Lau (sarung) motif disulamkan pada bagian bawah sarung. Proses pembuatan dengan menggunakan lidi untuk membantu menata benang dan motif.
Motif kain tenun Sumba, benar-benar menjadi simbol dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Terbagi dalam motif manusia, motif binatang, motif geometris dan motif kontemporer. Misalnya pada motif binatang, ayam menjadi perlambang kehidupan wanita ketika berumah tangga. Kuda menjadi lambing kekuatan dan kejantanan, sementara burung kakaktua yang berkelompok menjadi lambang persatuan dan musyarawah dalam adat.
Tak beda dengan kain tradisional Nusantara lainnya, di masa sekarang kain Tenun Sumba memiliki warna dan corak yang jauh lebih beragam. Hal ini tidak lepas dari pilihan bahan pewarna yang lebih beragam. Pada masa yang lampau warna kain Tenun Sumba terbatas pada warna-warna gelap seperti hitam, coklat dan merah tua yang berasal dari zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya. Sementara untuk benang menggunakan warna putih, kuning langsat dan merah maroon. Meskipun sudah mulai banyak memakai pewarna kimia yang lebih tahan luntur, tahan sinar dan tahan gosok, namun beberapa pengrajin masih tetap menggunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat, dan untuk ketahanan masih digunakan minyak dengan zat lilin. 



sumber: http://fashionesedaily.com/blog/2010/02/11/pesona-kain-nusantara-gaya-tenun-sumba/
Read More >> Gaya Tenun Sumba