Senin, 27 Februari 2012

Perang Tombak di Sumba Barat

Berita Sumba - Dua kelompok itu saling memegang tombak kayu berdiameter sekitar 1,5 centimeter dengan ujung yang tumpul. Setiap kelompok yang terdiri sekitar 100 orang itu memiliki satu peraturan 'perang.'Yakni, mereka yang telah jatuh, dilarang untuk diserang.

Itulah sekelumit laga dalam Perang Pasola, ritual adat masyarakat Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, untuk meminta restu Yang Maha Kuasa agar mendapat hasil panen yang baik.

Ritual ini merupakan bagian dari keyakinan warga Sumba penganut agama asli yang disebut Marapi. Ini merupakan ritual tak terpisahkan setiap tahun yang berlangsung sekitar bulan Februari atau Maret.

Mengapa ritual ini digunakan untuk memanjatkan agar hasil panen dapat melimpah? Dalam setiap tombakan yang mengenai lawan, darah akan bercucuran dari korban. Darah yang menetes itulah diyakini bisa menyuburkan tanah dan bermanfaat untuk panen.

Pasola sendiri berasal dari kata Sola atau berarti kayu. Dengan mendapat awalan 'Pa' kata Pasola memiliki arti permainan ketangkasan yang menggunakan kayu seperti alat olahraga lembing.

Ritual turun-temurun yang terus digelar dengan baik ini juga menjadi alat perekat bagi warga Sumba.
• VIVAnews
Read More >> Perang Tombak di Sumba Barat

Selasa, 31 Januari 2012

Wisata Alam di Sumba barat

Banyak potensi wisata alam di Sumba Barat seperti pantai-pantai berpasir putih, danau, air terjun, kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, bukit-bukit serta lembah-lembah yang hijau.

1. Pantai Marosi yang terletak di Kec.Lamboya, sekitar 32 Km dari Waikabubak. Pantai Marosi merupakan salah satu pantai tercantik di Sumba Barat. Pantai ini dekat dengan arena Pasola Hobba Kalla (Pasola Lamboya) serta sejumlah perkampungan tradisional.

Pantai Marosi

 2. Pantai Rua yang terletak di Kec. Wanokaka. Karena jaraknya yang relatif dekat dengan Kota Waikabubak yaitu sekitar 27 km, maka pada hari libur pantai ini menjadi alternatif utama bagi para wisatawan lokal yang ingin melepas penat sambil berenang, memancing dan berjemur matahari. Dari Waikabubak dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 1 jam perjalanan.

Pantai rua


3. Pantai Nihi Watu juga terletak di Wanokaka. Pantai yang terletak di desa nelayan kecil dan merupakan teempat dilaksanakannya upacara Nyale pada dini hari menjelang Pasola. Terletak 21 Km sebelah Selatan kota Waikabubak. Ombak di tempat ini merupakan salah satu yang tercepat di mana pun. Tidak diragukan kalau Nihiwatu merupakan salah satu pantai dengan ombak terbaik di Indonesia dan bahkan dunia. Tak hanya berselancar, tempat ini juga memungkinkan dinikmati untuk berbagai aktifitas mengasyikkan lain seperti mengendarai kuda di pantai, memancing, menyelam, mengamati burung, bersepeda gunung hingga trekking ke air terjun.

Pantai Nihi Watu

 4. Air terjun Laipopu terletak di desa Katiku Loku, Kec. Wanokaka, tepatnya di Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Air terjun yang berada di kawasan TNMT ini mempunyai keunggulan berupa keindahan dari lintasan air yang bertingkat-tingkat sehingga menebarkan butiran air ke berbagai arah. Debit air yang selalu stabil di sepanjang musim menyusun indahnya lumut dan tumbuhan yang menghijau di sekitar objek air terjun.

Air Terjun Laipopu

Hal yang dapat dilakukan adalah menikmati indahnya air terjun dengan berfoto, melakukan pijat air dan merasakan dinginnya air dengan mandi pada sekitar air terjun yang relatif aman bagi pengunjung.

Perjalanan menuju air terjun Laipopu ini memberikan tantangan tersendiri dimana setiap wisatawan yang akan mencapai objek ini dihadapkan pada jembatan gantung yang terbuat dari bambu, menyusuri lintasan berair dan melewati tegakan yang tersusun dari pohon-pohon berkayu. untuk mencapai Air Terjun Laipopu dapat ditempuh kurang lebih 45 menit dari pemukiman penduduk melalui trail yang variatif.

Potensi lain yang dapat dinikmati wisatawan adalah habitat burung kakatua, bentang sawah dan hasil kerajinan masyarakat Desa Katikuloku berupa kain tenun dan anyaman.

Akses menuju lokasi air terjun relatif mudah, dari Waikabubak dapat menuju Desa Katikuloku dengan angkutan umum selama kurang lebih 60 menit. Jalan yang dilalui berupa jalan aspal dan jalan perkerasan. Sedangkan wisatawan dari Kota Waingapu dapat melalui rute Waingapu-Waikabubak-Katikuloku dengan menggunakan jalan darat.


sumber: kaskus.us
Read More >> Wisata Alam di Sumba barat

Senin, 30 Januari 2012

Mengintip Pembuatan Rumah Adat Sumba

By: Joko Hendarto
Sepasang Rumah Adat Sumba, Ratenggaro, Kodi, SBD
Dua hari yang lalu saya diajak seorang rekan menyaksikan prosesi pembuatan rumah adat sumba di kampung Ratenggaro, Kodi, Sumba Barat Daya. Ratenggaro sering dilafalkan jadi “Ratenggarong”, sebuah pelafalan yang keliru kata teman saya. Harusnya, “Ratenggaro atau Rategaura”, rate berarti kuburan dan Gaura adalah tempat asal orang pertama yang menghuni kampung itu.
Ratenggaro atau Rategaura adalah salah satu kampung tua di wilayah Kodi. Kini kampung itu dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata, selain rumah-rumah adat yang berbentuk menara, kampung itu pun terletak dekat dengan pantai yang begitu indah dengan pasir putihnya. Dulunya kata teman saya, kampung mereka berada tepat dipinggir pantai, namun karena pengaruh abrasi, maka kampung itu pun dipindahkan agak kedalam. Itu pun katanya melalui prosesi dan upacara adat yang luar biasa ramainya. Makanya jangan heran melihat kuburan batu yang pas di pinggir pantai, ternyata dulu itu adalah bekas kampung.

Kerangka Rumah Adat dari Bambu dan Kayu Bulat

Rumah adat bisa dikatakan sebagai sentral kehidupan orang Sumba, segala hal yang terkait dengan adat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh adat dan kepercayaan “Marapu” yang biasanya tinggal di salah satu rumah di kampung adat seperti Ratenggaro ini. Rumah adat Sumba biasanya berbeda dengan rumah biasa. Berbentuk menara, dan disana biasanya ada tanduk kerbau di simpan juga tengkorak babi yang pernah dikorbankan saat upacara. Bahkan konon dahulu kala, kepala musuh yang berhasil dipenggal saat perang juga disimpan di langit-langit rumah adat. Hal yang tentunya tak akan lagi kita temukan sekarang.
Membangun rumah adat baru ternyata bukan prosesi yang mudah. Semuanya harus melewati serangkaian upacara yang rumit. Bahkan menyiapkan bahan-bahan bangunan untuk rumah itu pun tidak boleh sembarangan. Rumah menara setinggi 20 meter ini umumnya terbuat dari bambu bulat dengan tiang penyanggah yang juga terbuat dari kayu bulat. Orang-orang lokal menyebutnya “kayu kadimbil” berusia tua. Atapnya tak boleh dari bahan lain selain alang-alang.

Gotong Royong Mengatapi Rumah
Saya kadang membayangkan betapa susahnya membuat kontruksi rumah adat setinggi 20 meter itu tanpa menggunakan paku dan kayu lain selain bambu untuk rangka atap. Kata teman saya tidak boleh menggunakan paku dalam pembuatan rumah adat. Semua bahan mulai dari atap dan lainnya diikat dengan tali dari semacam kulit pohon yang kuat. Di bagian atap, rangkanya murni dari bambu, penambahan bahan lain dari kayu harus mendapat izin dulu dengan melakukan upacara dimana disana harus ada kurban hewan.
Saat saya berkunjung, ada dua rumah adat yang hendak dibangun. Katanya ada donatur dari Jakarta yang berbaik hati membiayai pembangunan rumah itu. Sepasang rumah, dianggap sebagai representasi laki-laki dan perempuan. Kalau ditaksir bisa jadi memakan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk setiap rumah lengkap dengan kerbau dan babi yang akan dipotong untuk memberi makan para pekerja dan anggota keluarga dari rumpun kampung itu yang datang berkunjung.

Beberapa Orang Membantu Melemparkan Alang
Sangat terasa sekali kemeriahan dan  nuansa kegotongroyongan dalam pembangunan rumah adat itu. Saya paling suka teriakan mereka bersahut-sahutan untuk saling menyemangati. Beberapa orang melemparkan alang yang telah diikat dari bawah rumah dengan riang, lalu ditangkap oleh mereka yang telah berada diatas kerangka atap untuk diikatkan. Gong dan tambur tradisional pun tak henti dibunyikan, menambah semarak acara itu. Bahkan ada yang beberapa orang yang menari sambil mengayun-ayunkan parang mengikuti irama gong dan tambur sambil berteriak-teriak dalam bahasa Sumba. Mungkin memberi semangat para pekerja untuk cepat menyelesaikan pekerjaannya.

Salah Satu Hewan yang Akan Dikurbankan
Uniknya, sebelum seluruh rumah adat itu diatapi, orang tak boleh makan, hewan belum boleh dipotong, hanya boleh minum kopi yang telah disediakan tuan rumah. Bukan cuma untuk pekerja namun untuk seluruh orang dan tamu yang hadir di tempat itu. Saat saya meninggalkan pembuatan rumah itu sore hari, rumah belum juga diatapi, jadi mungkin mereka makan sore atau malam harinya.
Menarik mendapat kesempatan menyaksikan pembuatan salah satu rumah adat Sumba ini, kata teman saya rumah yang satunya akan mulai diatapi dengan upacara serupa awal November nanti. Jika saat itu anda kebetulan di sumba, tak ada salahnya berkunjung dan menyaksikannnya secara langsung. Salam dari Sumba. 
 
 
sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/25/mengintip-pembuatan-rumah-adat-sumba/
Read More >> Mengintip Pembuatan Rumah Adat Sumba

Pulau Seribu Kuda, Sumba

Pernahkah Anda menyaksikan  film cowboy di TV yang sarat dengan adegan aksi kejar-kejaran dia tas kuda?. Para pemain  di film itu akan saling tembak-menembak  dan memacu kudanya secepat-cepatnya. Kuda  kuda handal ditampilkan bersama aktor utama dalam film-film tersebut. Ternyata  kuda-kuda andalan seperti itu bukan hanya ditemukan dibarat saja. Yang menarik,  di negeri  kita sendiri terdapat kuda andalan yang tidak kalah dengan kuda dari barat. Nah kuda - kuda tersebut paling banyak kita temui di Sumba.

Siapa yang tak kenal Sumba? Sumba identik dengan sabana yang luas serta ternak yang berkeliaran bebas di padang rumput. Hamparan ribuan hektar padang sabana tidak saja menjadi habitat pengembaraan hewan, tetapi juga menjadi pesona alam nan indah. Kuda memang segalanya bagi masyarakat Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Hewan ini tidak semata - mata digunakan untuk mengangkut barang, tetapi juga sebagai hewan tunggangan dan pacuan.


Dari berbagai jenis kuda di dunia, kuda Arab dapat dianggap sebagai cikal bakal kuda-kuda yang ada di Sumba saat ini. Kuda di Indonesia dipengaruhi iklim tropis serta lingkungan. Kuda yang terdapat di Sumba dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya termasuk ras timur. Berbeda dengan kuda ras Eropa dan Amerika yang memiliki tengkorak lebih besar.

Tinggi badannya berkisar 1,15 - 1,35 meter sehingga tergolong dalam jenis poni. Bentuk kepala umumnya besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup serta daun telinga kecil. Ciri-ciri lain, bentuk leher tegak dan lebar. Tengkuk umumnya kuat, punggung lurus dan pinggul kuat. Letak ekornya tinggi dan berbentuk lonjong, dada lebar, sedang tulang rusuk berbentuk lengkung serasi.


Kakinya berotot kuat, kening dan persendiannya baik. Sedangkan bentuk kuku kecil dan berada di atas telapak yang kuat. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikapnya yang kurang serasi (kurang baik), karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan dengan kaki belakang. Sikap berdiri seperti ini terdapat pada berbagai jenis kuda di Asia Tenggara, termasuk di Sumba. Kuda ini juga memiliki daya tahan (endurance) yang istimewa. Warna rambutnya bervariasi: hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko). Dengan bentuk postur tubuh kuda tersebut, maka beberapa masyarakat Sumba menyebutnya Kuda Sandel, atau lebih lengkap kuda Sandalwood pony. Selain itu nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan cendana ("sandalwood") yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.

Sampai dengan saat ini, kuda-kuda di Sumba hidup bebas di padang pengembalaan.  Kuda-kuda ini sering digunakan dalam ritual “Pasola” yaitu suatu jenis permainan rakyat yang sangat keras. Dimana dua kubu berlawanan secara adat dengan cara mengendarai kuda, masing-masing memacu kudanya dan saling melempar, menghajar dengan kayu (sola) secara keras di tubuh lawan.


Kuda bagi orang Sumba, awalnya  hanya digunakan sebagai alat transportasi. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan orang Sumba, kuda tidak hanya sebagai alat transportasi tetapi juga dipakai sebagai mahar (belis), sebagai cendera mata untuk urusan adat seperti perdamaian dan untuk bawaan saat menghadiri upacara penguburan. Bahkan kuda bagi orang Sumba dianggap sebagai kendaraan leluhur. Bahkan supaya masyarakat selalu ingat akan binatang ini, pemerintah setempat membuat tugu kuda di pusat kota.

Sebuah tantangan berat agar kuda sandelwood tidak punah, atau hanya menjadi barang langka bahkan hikayat yang menjadi perbincangan di masa depan. (wagner-febi supit/FB/bd)


sumber: http://beritadaerah.com/budaya/bali/38233
Read More >> Pulau Seribu Kuda, Sumba

Pasola, Permainan Perang Sumba

Mutya Hanifah - Okezone
JIKA berkesempatan mengunjungi Pulau Sumba, di Provinsi Nusa Tenggara Timur, jangan lewatkan untuk menonton tradisi khas pulau ini, yaitu Pasola.

Pasola adalah permainan perang-perangan antara dua kelompok yang menaiki kuda dan saling melempar lembing di sebuah padang rumput. Pasola berasal dari kata "sola" yang berarti tombak kayu, dan kemudian mendapat imbuhan "pa", sehingga artinya secara harafiah menjadi permainan ketangkasan menggunakan lembing.

Tradisi Pasola ini bermula dari legenda yang berkembang di Pulau Sumba. Menurut cerita, jaman dahulu di pulau ini ada seorang janda cantik yang bernama Rabu Kaba.

Wanita cantik ini sebelumnya adalah istri dari Umbu Dula, salah satu pemimpin warga Waiwuang, salah satu desa di Pulau Sumba. Suatu hari Umbu Dula pergi bersama saudara-saudaranya ke laut, namun mereka tak kunjung pulang. Setelah dicari dan tidak ditemukan, warga sepakat menganggap mereka telah tiada.

Setelah itu, Rabu Kaba yang telah menjadi janda kemudian menjalin kasih dengan Teda Gaiparona, pemuda dari Kampung Kodi. Namun hubungan mereka tidak disetujui oleh Desa Waiwuang. Mereka pun kawin lari ke Kampung Kodi.

Tak lama setelah Rabu Kaba pindah ke Kampung Kodi, Suami pertamanya yang dikira telah meninggal, Umbu Dula, ternyata masih hidup dan telah kembali ke Desa dan mendapati istrinya telah menikah lagi.

Umbu Dula kemudian mendatangi Teda Gaiparona bersama seluruh warga Waiwuang untuk meminta pertanggung jawabannya karena telah membawa lari istrinya.

Setelah berdebat, akhirnya disepakati bahwa Teda Gaiparona harus mengganti mas kawin yang telah diterima Rabu Kaba dari Umbu Dula. Setelah mas kawin dibayar, Teda Gaiparona berpesan kepada warga kedua kampung agar melaksanakan Pasola, tujuannya supaya tidak ada lagi dendam diantara kedua kampung tersebut.

Selain berdasar dari legenda rakyat tersebut, Pasola juga sebenarnya bagian dari ritual kepercayaan agama lokal masyarakat Sumba, Marapu. Ritual Pasola ini menurut kepercayaan Marapu dilakukan setelah pesta adat bau nyale, untuk memohon restu para dewa agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik.

Dalam permainan perang-perangan ini, tak jarang ada yang terluka akibat terkena tombak sepanjang 1,5 meter. Namun, darah yang mengucur akibat bermain Pasola justru dianggap bermanfaat bagi kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Selain nilai sakral dan tradisional, permainan adat Pasola ini juga merupakan elemen penyatu masyarakat Sumba.

Pasola diadakan di empat kampung di Kabupaten Sumba Barat, yaitu Kampung Kodi, Kampung Lamboya, Kampung Wanokaka, dan Kampung Gaura. Biasanya adat ini dilaksanakan setiap tahun antara bulan februari dan maret, bertepatan dengan upacara adat Nyale. (dikutip dari berbagai sumber)
(rhs)

Read More >> Pasola, Permainan Perang Sumba

"Jantung" Kehidupan Orang Sumba

Oleh: Kornelis Kewa Ama

Kampung Adat Bukabhani di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya
Kampung adat di Sumba diyakini sebagai kampung para leluhur. Kampung ini memiliki kekuatan supernatural. Segala kegiatan yang melibatkan warga berawal dari rumah kepala kampung yang disebut rumah rato yang terletak di tengah kampung. Rumah adat itu ibarat ”jantung” kehidupan warga Sumba.
Di tengah dan pinggir kampung terdapat kubur batu megalitik. Batu-batu untuk penguburan leluhur ini diambil dari batu alam asli. Batu-batu itu berbentuk ceper tak beraturan, berlumut dan kehitaman. Di atas batu tersebut diletakkan sirih, kapur, dan pinang untuk leluhur. Batu-batu ini adalah kuburan leluhur yang meninggal ratusan tahun silam.
Tidak semua orang boleh menginjakkan kaki atau berada di atas batu-batu ceper yang berukuran sedang di tengah kampung ini. Para tamu pun tidak boleh sembarangan mengambil gambar di lokasi tersebut.
Setiap tamu wajib memberi upeti (uang) kepada rato. Uang diletakkan di dalam tempat khusus sirih pinang. Jumlah uang tergantung tamu. Setelah itu, tamu boleh berbicara dengan rato, didampingi istri rato dan sesepuh adat kampung.
Kepala Kampung juga ketua adat disebut Rato Nale (Nyale). Rato artinya raja (penguasa), nale (nyale) artinya cacing (ikan) laut. Rato Nale dari Kampung Bukabhani, Kecamatan Kodi, Sumba, bernama Nggeru Ndongu (78).
Rumah sakral
Ditemui di kampung adat Bukabhani, Senin (28/2/2011), Ndongu mengatakan, kampung adat adalah tempat tinggal para leluhur. Kehadiran mereka ditandai dengan batu ceper asli (alamiah) menyerupai meja, dengan penopang tiga tiang batu atau gundukan batu lain.
”Di dalam tanah, persis di bawah meja batu ini, terdapat tulang belulang berusia ratusan tahun. Tidak hanya itu, hampir seluruh bagian bawah tanah di kampung yang berukuran 100 meter x 200 meter ini terdapat tulang manusia. Tempat ini sangat keramat,” kata Ndongu.
Semua jenis tumbuhan dalam kampung diyakini memiliki kemampuan menyembuhkan. Jika ada warga kampung sakit, terluka saat upacara pasola di lapangan, digosok dengan serat batang tumbuhan atau daun itu.
Rumah rato disebut juga rumah nale. Rumah itu ibarat ”rumah sakit” warga kampung. Jika ada warga kampung yang sakit berat, ibu sulit melahirkan, warga kampung ingin bepergian jauh, pembahasan upacara pernikahan, dan perang antarkampung harus dilakukan di rumah rato itu.
Bibit padi, jagung, kacang, atau tanaman lain disimpan di bagian loteng, tempat tinggal para leluhur atau merapu. Bibit ini mendapat berkat dari leluhur agar menghasilkan buah yang berlimpah untuk kesejahteraan warga.
Kubur batu yang mengelilingi kampung adat sebagai lambang perlindungan leluhur. Sampai 1950-an selalu terjadi perang antarsuku (kampung). Perang itu melibatkan fisik, juga menyertakan kekuatan gaib antarleluhur kampung. Di sini, hubungan harmonis dan kedekatan dengan leluhur sangat menentukan.
Pelaksanaan pasola (perang tanding dua kelompok suku) selalu mendapat petunjuk leluhur. Itu diawali dengan munculnya nale. Kehadiran nale dipadukan dengan mimpi sang rato dan posisi bulan, tepat tegak di atas rumah adat rato itu.
Setiap bahan bangunan dari kampung adat diambil dari hutan. Tidak boleh menggunakan paku, seng, besi, atau semen. Tiap bahan bangunan yang diambil mendapat izin dari leluhur agar rumah itu tak mendatangkan bencana bagi penghuninya. Meski memiliki ketinggian sampai 30 meter, rumah-rumah itu tidak ambruk diterjang angin kencang.
Rumah rato memiliki tiga tiang utama yang disebut tiang payanu, simbol norma dan hukum (keadilan), ”mataku” simbol keadilan, matangu uhu wei manu, simbol kesejahteraan di bidang pertanian dan peternakan. Kepemimpinan rato harus mencerminkan norma hukum, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan warga.
Menara rumah disebut kawuku uma atau hindi marapu, tempat tinggal para arwah leluhur, anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Di puncak ini disimpan arca-arca leluhur, harta benda, dan benda purbakala yang memiliki nilai mitis magis.
Bukabhani merupakan kampung adat tertua di Sumba Barat Daya (SBD). Rato Nggeru Ndongu sebagai pemimpin semua rato dari sejumlah kampung adat. Ia memiliki kemampuan khusus, seperti meramal suatu peristiwa yang bakal terjadi, atau membaca tanda-tanda alam.
Berangsur sirna
Sampai 1970-an, kampung adat Bukabhani diyakini sebagai kampung terkeramat, dipercaya memiliki kekuatan supernatural. Bayangan para tamu dari luar tidak boleh menyentuh kubur batu yang berserakan di kampung adat itu. Sang rato harus membacakan doa (mantra) sebelum tamu-tamu masuk kampung. Jika tidak, sang tamu akan mendapat celaka setelah pulang.
”Perkembangan modern perlahan-lahan menggeser nilai-nilai mitis magis dari kampung ini. Sekarang, anak muda sulit diatur, terutama mereka yang sudah pergi ke kota besar atau menyebut diri sebagai pelajar atau mahasiswa. Mereka tidak peduli terhadap segala kepercayaan yang dianut orangtua di kampung,” kata Ndongu.
Kepala Urusan Pemerintahan Desa Atedalo, Kecamatan Kodi, SBD, Robert Ranggamone, mengatakan, dalam urusan adat, pemerintah desa selalu bergantung pada rato. Di Desa Atedalo terdapat dua kampung adat, yakni Bukabhani dan Tossi. Bukabhani merupakan kampung adat tertua di seluruh SBD, bahkan Sumba.
”Penyelenggaraan pasola baik di Sumba Barat maupun SBD selalu mendengar masukan dari Rato Bukabhani,” katanya.
Di Sumba Timur, tradisi pasola sudah lenyap puluhan tahun silam setelah agama Kristen masuk. Di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, budaya pasola masih hidup karena agama Katolik memberi kesempatan bagi budaya lokal untuk tumbuh dan berkembang.
Moses Wakar (23), warga kampung Bukabhani, menuturkan, kekuatan gaib yang diperlihatkan para leluhur makin sirna tahun demi tahun. Itu dikarenakan perkembangan zaman dan sikap generasi muda yang kurang perhatian terhadap adat.
”Upacara pasola, pemerintah sudah mengambil alih dengan alasan demi pariwisata. Sejumlah nilai budaya dan tradisi lokal diabaikan, seperti penentuan hari dan tanggal pelaksanaan pasola. Di Wanokaka, misalnya, pasola biasanya diselenggarakan bulan Maret, tetapi kini malah sudah diselenggarakan pada bulan Februari,” kata Wakar.
Read More >> "Jantung" Kehidupan Orang Sumba

Gaya Tenun Sumba

Wilayah timur Nusantara yang eksotis, selain terkenal dengan keindahan alam bawah laut dan hasil laut berupa mutiara yang elok, rupanya juga mempunyai kekayaan budaya berupa kain tradisional yang dibuat dengan cara menenun.
Kain tenun Sumba, secara garis besar dibagi menjadi Hinggi yaitu kain untuk pria dan dan Lau Pahikung yaitu kain untuk wanita. Selain itu, warna kain tenun Sumba juga sedikit banyak dipengaruhi oleh lokasi. Di Sumba Timur, biasanya kain tenun berwarna dasar hitam dengan motif berwarna, sementara di Sumba Barat, kain tenun berwarna dasar biru tua dengan motif berwarna.

Kain Sumba
Seperti daerah lain di Nusantara, pada masa lampau, kain Tenun Sumba mempunyai peranan cukup penting dalam kultur adat masyarakat Sumba. Selain sebagai busana sehari-hari, kain tenun Sumba juga dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adapt, sebagai mas kawin, juga digunakan ketika ada upacara kematian. Ketika seseorang meninggal, terlebih jika ia seorang Raja atau keturunannya, ketika dikubur, jasadnya harus dibebat dalam ratusan kain Tenun dalam posisi meringkuk, barulah jasadnya dikuburkan. Selain hal-hal tersebut, kain tenun Sumba juga digunakan untuk alat tukar dan pembayaran denda. Motif dan warna tertentu dalam kain Tenun, juga menunjukan strata sosial pemakainya, juga sebagai lambing penghargaan terhadap suku, yang diharapkan dapat menghindarkan mereka dari gangguan alam, bencana, roh-roh jahat dan hal-hal buruk lainnya. Kain tenun juga digunakan untuk penghargaan kepada tamu yang datang dari wilayah lain, sebagai penghormatan.
pemakaian Hinggi dalam sebuah upacara adat
 Keindahan kain Tenun Sumba, tidak lepas dari teknik pembutan dan motif yang ditampilkan. Pada pembuatan Hinggi, benang Lusi (warp) diikat untuk memperoleh desain gambar ketika benang tersebut dicelup pewarna. Setelah proses pencelupan, kain dikeringkan kemudian proses diteruskan dengan membuka kalita (tali ikatan) pada pola yang diharapkan akan dicelup warna berikut. Dua warna pada sebuah kain dengan motif tertentu dibentuk dengan cara mengubah posisi yang diikat.

Karena proses pengikatan ini ketika pencelupan, larutan pewarna meresap sampai ke pinggir benang yang terikat dan membuat warna menjadi sedikit membaur. Nah, ‘cacat’ inilah yang menjadi ciri khas motif ikat.
Sementara itu pada pembuatan Lau (sarung) motif disulamkan pada bagian bawah sarung. Proses pembuatan dengan menggunakan lidi untuk membantu menata benang dan motif.
Motif kain tenun Sumba, benar-benar menjadi simbol dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Terbagi dalam motif manusia, motif binatang, motif geometris dan motif kontemporer. Misalnya pada motif binatang, ayam menjadi perlambang kehidupan wanita ketika berumah tangga. Kuda menjadi lambing kekuatan dan kejantanan, sementara burung kakaktua yang berkelompok menjadi lambang persatuan dan musyarawah dalam adat.
Tak beda dengan kain tradisional Nusantara lainnya, di masa sekarang kain Tenun Sumba memiliki warna dan corak yang jauh lebih beragam. Hal ini tidak lepas dari pilihan bahan pewarna yang lebih beragam. Pada masa yang lampau warna kain Tenun Sumba terbatas pada warna-warna gelap seperti hitam, coklat dan merah tua yang berasal dari zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya. Sementara untuk benang menggunakan warna putih, kuning langsat dan merah maroon. Meskipun sudah mulai banyak memakai pewarna kimia yang lebih tahan luntur, tahan sinar dan tahan gosok, namun beberapa pengrajin masih tetap menggunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat, dan untuk ketahanan masih digunakan minyak dengan zat lilin. 



sumber: http://fashionesedaily.com/blog/2010/02/11/pesona-kain-nusantara-gaya-tenun-sumba/
Read More >> Gaya Tenun Sumba

Sabtu, 28 Januari 2012

Tanah Sumba Ku Akan Kembali

By: Kudel

Perjalanan ke Sumba Penuh Kenangan

Dulu, aku mungkin tidak bermimpi menginjak tanah Sumba. Tanah yang jauh dari tempat asalku Surabaya, tanah yang sebagian besar berupa sabana dan stepa dikelilingi gunung-gunung kapur cadas menjulang. Kisahku bermula dari sebuah penugasan negara, aku ditempatkan di Sumba Timur NTT sebagai Dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) periode tahun 2009 sampai 2010. Pulau Sumba NTT, daerah yang mungkin anda belum pernah dengar bukan? Sumba adalah Pulau seribu awan, aku menyebutnya demikian karena dikelilingi beraneka awan mengelilingi atas langit Sumba. Tempatku PTT, Puskesmas Nggongi Kecamatan Karera merupakan Kecamatan lama yang sudah terbentuk. Menurut peta yang terpampang di dinding Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur (Dinkeskab Sumba Timur) Puskesmas Nggongi berada di kilometer 160 dari kota Waingapu, ibukota Sumba Timur. Kecamatan Karera merupakan daerah kerajaan, Bapa Raja masih hidup dengan usia yang udah senja. Bapa Raja mempunyai hamba (semacam abdi dalem) yang patuh dan setia pada perintah sang Bapa Raja. Orang Sumba sendiri banyak yang mengetahui tempat PTT-ku ini, sebab Karera adalah daerah penghasil jambu mente dan sentra ternak seperti kerbau, babi, kuda dan kambing.  Hanya dokter laki-laki yang di tempatkan disana, sudah lama tidak ada tambahan dokter karena medan yang relatif jauh dan transportasi yang susah ditembus. Jarak tempuh dari Waingapu ke Nggongi memakan waktu 4-5 jam bila perjalanan dilakukan dengan sepeda motor dan angkutan umum, jangan harap angkutan umum yang nyaman, angkutan ini hanyalah sebuah truk yang tidak hanya mengangkut manusia tapi juga hewan yang akan dijual di kota. Tentu bisa dibayangkan kecepatan bus dengan menghitung jarak tempuh dengan waktu tempuhnya.  Aku baru tahu (anda tidak akan tahu bila tidak meihatnya sendiri) ketika menuju Puskesmas Nggongi tempat-ku bertugas untuk pertama kalinya. Perjalanan dari Waingapu ke Karera melewati Puskesmas lainnya antara lain Tanarara dan Kananggar setelah itu baru Nggongi. Jangan harap perjalanan bakal menyenangkan, kiri kanan jurang terjal dan dalam diantara gunung-gunung cadas dan melewati sungai-sungai kecil. Diantara keterbatasan transportasi itu, dalam benakku Sumba punya potensi alam yang luar biasa. Perjalanan menuju Nggongi memang berat namun pemandangan sungguh indah di mata, tanarara banyak terdapat tanah-tanah yang berwarna merah dan bangunan makam megalitikum tepat didepan rumah masing-masing penduduk. Pada waktu SK penempatan turun, Dinkeskab paling akhir menempatkan aku karena butuh mobil khusus dan supir yang mengenal medan ke Karera. Kecamatan Karera sebenarnya memiliki potensi yang besar tapi kurang digarap secara maksimal. Listrik disana ada 12 jam, air mandi memakai sumur dengan menimba sendiri dan kebetulan ada sinyal Telkomsel yang udah masuk Kecamatan. Karera setelah pemekaran terdiri dari 5 desa yaitu Nggongi, Nangga, Tandula Jangga, Praimadita dan Janggamangu. Telkomsel masuk baru 4 tahun yang lalu, sebelum ada signal Telkomsel akses perdagangan menjadi terhambat. Padahal Karera adalah sentra penghasil jambu mente dan sentra ternak seperti kerbau, babi, kuda dan kambing. Sekarang dengan adanya sinyal Telkomsel kehidupan Karera menjadi berubah, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidupnya. Tiap bulan sinyal ini kadang mati 1-2 hari karena beban pemakaian penduduk desa yang relatif sangat tinggi dan menggantungkan Telkomsel untuk sekedar menghubungi kerabat di kota maupun bertransaksi dagang. Maklum hanya Telkomsel yang mampu masuk pedalaman Sumba Timur. Selama 9 bulan aku ditempatkan di Karera, kemudian dipindahkan ke Kecamatan baru pemekaran di Ngadu Ngala sebagai Kepala Puskesmas. Ngadu Ngala yang baru pemekaran, masih dirasakan jauh tertinggal dengan kecamatan Karera karena belum ada sinyal telepon disana. Janganpun sinyal, listrik desa saja harus memakai genset desa yang cuma menyala 6 jam per harinya dan hari pasar cuma ada pada hari Jum’at. Bisa ditarik benang merah daerah Ngadu Ngala belum semaju Kecamatan lain seperti Karera.

Kekayaan Alam dan Budaya Sumba Warisan Dunia

Rumah Adat dan Makam Para Raja Sumba
Namun aku bersyukur ditempatkan disini, Sumba terkenal mempunyai warisan budaya tinggi. Pulau yang terkenal dengan sebutan sandlewood ini merupakan surga bagi penikmat jaman prasejarah. Bangunan khas berupa megalitikum merupakan kekayaan tersendiri di Pulau Sumba. Di setiap sudut desa dan kampung begitu mudah Anda menemukan menhir—batu besar seperti tiang atau tugu yang ditegakkan di tanah, sebagai perlambangan arwah nenek moyang yang telah meninggal. Begitu juga dolmen—monumen prasejarah berupa meja batu datar yang ditopang tiang batu, dolmen tersebar di tiap-tiap kampung. Bangunan megalitikum terkait erat dengan kehidupan sebagian masyarakat Sumba yang menganut agama tradisional Marapu. Marapu merupakan agama asli orang Sumba sebelum disentuh pengaruh agama Kristen. Meskipun kini, Marapu semakin terpinggirkan akibat tergerus arus modernisasi. Ketika saya disana saya sempat mengikuti upacara perkawainan. Begitu beruntungnya saya, karena upacara perkawinan menyimpan daya tarik tersendiri. Upacar perkawinan menarik ketika terjadi pembicaraan mengenai belis (mas kawin). Sebab, belis dalam rupa ternak itu bisa mencapai puluhan hingga ratusan ekor kuda, kerbau, babi dan sapi yang harus diserahkan ke keluarga perempuan. Budaya belis menjadi budaya yang turun-temurun terutama perkawinan yang melibatkan kaum maramba (darah biru). Sumba juga terkenal akan kain tenunnya yang berharga mahal, tenun ini dicari wisatawan asing. Untuk baju adat, kaum pria mengenakan kain tenun ikat “Hinggi” dililitkan kepinggang dengan ikat pinggang dan parang yang ditancapkan kedalam kain tenun dan ikat pinggang. Mereka juga memakai ikat kepala yang dibuat dari tenun ikat. Kain ikat ditenun menggunakan motif binatang dan manusia. Di Sumba Timur, umumnya tenun ikat berwarna dasar hitam dengan motif berwarna. Tenun ini bisa didapatkan di Kecamatan Rindi, ujung barat Sumba Timur. Tenun disana merupakan warisan langsung kerajaan di daerah Rindi, jadi bisa ditebak kain motifnya halus dan mempunyai nilai artistik tinggi. Setiap hari Jum’at PNS disana diwajibkan memakai baju tenun ini seperti memakai batik di Pulau Jawa pada hari-hari tertentu. Daerah kerajaan memang masih ada di Sumba, namun eksistensinya mulai tergerus jaman. Bila anda ke Sumba, anda dapat menuju kampung adat di Desa Rende. Disana masih banyak ditemukan rumah adat dan kuburan batu adalah sebagai simbol kehidupan dan kematian. Bila anda ingin memancing, Sumba adalah salah satu spot mancing di Indonesia. Mancing mania sebuah stasiun TV sering mengambil gambar di Sumba, monster-monster giant trevally, dogtooth tuna, amberjack dll merupakan buruan pemancing. Di Sumba Timur juga kaya akan pantainya, pantai Tarimbang adalah pantai terkenal di antara backpacker asing. Sekitar pantai ada home stay penduduk yang dikelola pak Marthen di Kecamatan Tabundung.

Kehangatan Penduduk dan Toleransi di Sumba 

Budaya khas dari tanah ini adalah mengunyah sirih pinang, mereka tidak sungkan memberikan kepada setiap tamu yang datang sebagai tanda persahabatan. Sirih pinang kata penduduk disana sebagai lisptik yang tidak mampu dibeli, begitu guyonan mereka. Sirih pinang sudah membudaya lama, sirih yang dicampur pinang dan dimakan dengan kapur ini akan terasa pahit bila tidak biasa mengunyahnya. Meskipun dengan mengunyah sirih pinang membuat ludah mereka berwarna merah. Penduduk Sumba juga mempunyai warisan budaya berupa cium Sumba melalui menempelkan kedua hidungnya sebagai tanda persaudaraan. Ini sudah menjadi tradisi yang berjalan turun temurun terutama bila sudah lama tidak bertemu saudara jauh. Selain sirih pinang anda akan disajikan dengan kopi Sumba yang nikmatnya luar biasa, kopi ini merupakan hasil perkebunan warga yang kemudian ditumbuk sendiri. Anda bakal merasakan aroma kopi yang enak dan pas ketika di lidah. Saya sebagai seoramg muslim di pedalaman Sumba memang harus menjaga makanan, terutama yang halal. Namun di Karera maupun Ngadu Ngala anda tidak akan diberikan masakan makanan yang dicampur babi. Penduduk setempat pasti akan mempersilahkan saya atau Kepala Puskesmas Nggongi yang muslim untuk menyembelih ayam kampung yang mereka persiapkan. Dan yang anda harus ketahui, mereka menyuruh kita menyembelihnya dengan tata cara Islam dan mereka akan memasaknya dengan cara terpisah dengan makanan mereka yang mengandung babi. Ini biasanya dilakukan bila kita lagi melakukan Puskesmas Keliling maupun acara adat seperti kematian. Toleransi yang sungguh diidam-idamkan yang jarang kita temui. Upacara kematian menjadi atraksi tersendiri karena bila yang meninggal dari keluarga maramba, mereka akan memotong kerbau yang ditebas hanya dengan sekali tebasan parang dan kerbau harus langsung mati. Dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan secara gratis ke penduduk sekitar. Di pedalaman Sumba memang masih tradisional tetapi mempunyai budaya dan toleransi yang tinggi.

Potensi budaya, kekayaan alam yang melimpah ruah di Indonesia khususnya kawasan timur harus dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa ini, jangan sampai dikuasai bangsa lain. Dan tentunya Anda harus mencoba pergi ke Sumba!

I love Sumba... 

Read More >> Tanah Sumba Ku Akan Kembali

Puisi: Beri Daku Sumba

BERI DAKU SUMBA

Oleh Taufiq Ismail

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bila mana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat-asam panas mulai dikipas dari sana

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa-nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak berkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah-padam, membenam di ufuk yang teduh
 
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Read More >> Puisi: Beri Daku Sumba

Penjaga Warisan Budaya Sumba

By: KORNELIS KEWA AMA

Salah satu Tarian Adat Sumba
Sanggar Seni Oriangu pimpinan Hendrik Pali Hamapaty tak asing bagi warga Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di sanggar itu, para pejabat, mahasiswa, dan pelajar dari Sumba ataupun luar Sumba, termasuk turis asing, dapat melihat dan mempelajari beberapa seni tradisi lokal Sumba yang masih tersisa.
Sumba terkenal dengan budaya dan tradisi lokalnya. Kepercayaan agama asli Marapu memperkaya khazanah budaya dan tradisi itu. Namun, seiring perkembangan zaman dan masuknya agama baru, perlahan-lahan budaya dan tradisi lokal mulai ditinggalkan masyarakatnya. Hal yang konkret adalah punahnya sejumlah tarian daerah, musik, cerita rakyat, ataupun Marapu sebagai kepercayaan asli Sumba.
Literatur tari tradisional Sumba menyebutkan, ada lebih dari 100 tarian lokal yang menggambarkan kepercayaan kepada Tuhan agama asli Marapu, kehidupan warga, keadilan, kejujuran, pesta panen, dan pesta perkawinan. Namun, sebagian besar tarian itu sudah terlupakan, hanya 22 tarian yang masih bisa ditarikan.
Dari 22 tarian tradisional itu pun 18 di antaranya nyaris hilang. Tarian itu, antara lain, Kabokang (tarian untuk menghormati raja agar selalu jujur dan adil memimpin), Mapandamu (tarian mewujudkan rasa syukur atas kelahiran anak), Kandingan (tarian syukur pada pesta panen), Patanjangung (tarian syukur atas panen perdana), dan Panapang banu (tarian melamar gadis).
Ada juga tarian Ningguharana yang dibawakan pria dan perempuan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari peperangan. Kini, tarian itu dibawakan saat menjemput para peserta pasola yang baru pulang dari pertarungan (permainan melempar tongkat kayu sambil menunggang kuda).
Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ke Pulau Sumba bertemu dengan Hendrik Pali Hamapaty yang prihatin dengan punahnya sejumlah budaya dan tradisi lokal Sumba. Hendrik menilai, budaya dan tradisi Sumba memiliki pesan kuat bagi kehidupan persaudaraan, kebersamaan, kehidupan sosial, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Itu yang memotivasi dia mendirikan Sanggar Oriangu.

Terinspirasi Yogyakarta

Hendrik, pemilik sanggar dan pelestari seni budaya tradisional Sumba ini, terinspirasi kegiatan para seniman di Yogyakarta. Di kota itu, seni bisa menghidupi senimannya. Sementara di daerah seperti Sumba, seniman harus berjuang dan bersusah payah menghidupi keluarganya. Ini belum termasuk mendapatkan dana untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi yang sudah dan terancam punah.
”Sepulang dari Yogya tahun 1980, setelah menekuni seni tari di sanggar milik Bagong Sutrisnadi, saya mulai menyosialisasikan tarian-tarian itu di sekolah-sekolah. Kini, hampir semua sekolah dasar dan menengah di Sumba belajar tarian di sanggar ini. Para guru pun belajar tarian untuk melatih para siswa. Bahkan, tarian-tarian yang hampir punah bisa masuk dalam muatan lokal sekolah dasar dan menengah,” katanya.
Sanggar Oriangu pun penuh sesak menjelang 17 Agustus, saat para siswa dan guru menyiapkan diri untuk lomba tarian tradisional. Setiap kelompok harus diajari tarian berbeda dengan modifikasi berbeda pula. Ada tarian berisikan kepahlawanan, pendidikan, keadilan, pengorbanan guru, kehidupan petani di sawah, kejujuran, dan kehidupan sosial.
Tarian yang terancam punah pun kembali populer. Pemerintah kabupaten setempat juga kerap meminta Hendrik menyajikan sejumlah tarian khas Sumba bersama peserta didiknya untuk menyambut kedatangan tamu atau pelantikan pejabat.
Hendrik mengaku sekali pentas dibayar Rp 500.000-Rp 2,5 juta. Jika mereka tampil di hadapan turis asing, bayarannya bisa sampai Rp 5 juta sekali tampil. Uang itu langsung dia bagikan kepada peserta didik yang umumnya anak putus sekolah dan lulusan sekolah menengah yang belum mendapat pekerjaan.
Kalau tak ada permintaan pentas, latihan rutin tetap dilaksanakan setiap Sabtu dan Minggu. Tujuannya agar anak-anak tak berkeliaran di jalanan pada malam Minggu atau hari libur.
Sebanyak 50 anak didik angkatan pertama (1982-1985) sudah menyebar ke sejumlah kecamatan dan desa untuk melatih sekaligus mempelajari dan mengkreasi tarian yang ada. Dari penyebaran anak didik Hendrik ke desa-desa itu, didapatkan lima tarian baru yang belum ditampilkan karena masih perlu dipelajari asal usul dan arti setiap gerakannya.

Sanggar serba guna

Hampir 10 angkatan telah belajar di sanggar ini. Oriangu sudah menjadi pusat pembelajaran siswa sekolah dasar dan menengah. Sejumlah sekolah di pedalaman Sumba pun datang ke Sanggar Oriangu untuk belajar tari tradisional.
”Sanggar ini saya bangun atas dukungan dana dari para biarawati Katolik di Denpasar senilai Rp 40 juta. Tujuan awalnya untuk pelestarian tari tradisional dan pelatihan tenun ikat Sumba. Tetapi kemudian berkembang menjadi sanggar serba guna,” ceritanya.
Dinas Tenaga Kerja Sumba Timur pun sering mengirimkan orang untuk mengikuti pelatihan tenun ikat di sanggar ini. Mereka umumnya lulusan sekolah menengah dan sekolah dasar. Oleh karena keterbatasan ruangan, fasilitas pendukung, dan tenaga, Sanggar Oriangu fokus pada kegiatan tarian, musik lokal, dan sastra lisan yang dipercaya bersifat mistis-magis.
Alat musik yang ditekuni Hendrik, antara lain, gong dan tambur yang masih umum digunakan. Keterbatasan tenaga dan dana membuat ia kesulitan mendalami sejumlah alat musik yang telah punah.
”Saya sedang mencari alat musik jungga yang masih tersimpan di desa-desa. Saya butuh orang khusus untuk memainkan alat musik ini. Kalau ada pemainnya, kami akan mengumpulkan generasi muda di sanggar untuk berlatih dan mementaskan jungga di hadapan para turis, pejabat daerah, dan masyarakat luas,” katanya.
Menurut Hendrik, awal 1990-an terdapat 57 sanggar. Namun, keterbatasan dana dan tidak adanya dukungan dari masyarakat mengakibatkan sanggar-sanggar itu tutup.
”Saya bertahan dengan kemampuan amat terbatas. Saya ingin Sumba tetap memiliki semangat kebudayaan asli. Jangan sampai budaya lokal Sumba punah dan yang ada hanya budaya impor. Hal ini mulai terasa sekarang,” kata Hendrik.


sumber: kompas
Read More >> Penjaga Warisan Budaya Sumba

Kuda Sumba

Kuda Sumba
Pada zaman dahulu, kuda sering dipakai sebagai kendaraan perang oleh masyarakat Sumba. Pasola merupakan salah satu bukti kepiawaian pria Sumba menunggang kuda sambil berperang. Pasola juga merupakan ritual masyarakat penganut kepercayaan Merapu untuk meminta berkah para dewa agar panen berhasil baik.

Di Sumba Barat, ritual Pasola diadakan setiap tahun, antara bulan Februari dan Maret. Pasola merupakan atraksi adat dalam bentuk perang-perangan oleh dua kelompok berkuda beranggotakan sekitar 100 orang. Mereka saling berhadapan bersenjatakan tombak berujung tumpul.

Dalam satu dasawarsa terakhir tombak diganti dengan kayu yang dibuat seperti tombak. Terkadang ada korban jiwa dalam pasola. Namun tidak bisa diproses secara hukum. Masyarakat setempat percaya bahwa korban yang meninggal dunia dalam ritual itu sebagai hukuman para dewa kepada yang bersangkutan.

Kuda-kuda di Sumba hidup bebas di padang pengembalaan. Tak ada pagar yang membatasi ruang gerak mereka. Kecuali kuda pacu, yang dipelihara khusus. Harga kuda pacu bisa mencapai ratusan juta rupiah.  Sumba, terutama Sumba Timur kemudian dikenal sebagai daerah penangkaran kuda pada abad ke-19 ketika Belanda mulai memperbaiki kualitas kuda sumba dengan cara mengawinkan kuda sumba dengan kuda arab. Kawin silang inilah yang menghasilkan kuda sumba yang dikembangkan masyarakat Sumba sampai saat ini.

Kuda sandel atau kuda sumba sampai sekarang masih merupakan jenis kuda dengan populasi terbesar di Pulau Sumba dan dikirim  ke luar  Pulau Sumba antara lain ke Sulawesi, Jawa,  Madura, Bali, Jakarta bahkan ke Kalimantan untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu.  Kuda Sandelwood terkenal karena kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Kondisi alam yang tidak ramah itu telah membentuk kuda sumba sebagai salah satu jenis kuda dengan stamina yang kuat.

Daya tahan tubuh kuda sandel telah teruji secara nasional dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kelas penunggang terlama dan terjauh bersama penunggang asal Lembang, Jawa Barat, Billy Mamola pada Agustus 2008 lalu di Lembang, Jawa Barat. Kuda  Sumba mampu menempuh perjalanan  500 kilometer dari Lembang, Jawa Barat sampai ke Pangandaran, daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Sebagai pencinta kuda, Billy Mamola mengaku menjatuhkan pilihan pada kuda sumba karena kuda sumba mempunyai kuku yang sangat kuat.   Bily mengaku kagum dengan kuda sumba karena postur dan kukunya kuat.  Kekuatan kuda sumba yang bertumpu pada kuku diperkirakan disebabkan kondisi alam Sumba yang tandus dan berbukit-bukit serta cara pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif atau  dilepas bebas merumput di padang. Jenis makanan kuda Sumba dari rerumputan liar, kata Billy, diperkirakan ikut mempengaruhi kekuatan dan daya tahan kuda sumba.

Tentu saja ke depan,  peningkatan kualitas kuda sumba tidak sepenuhnya diserahkan kepada alam. Perbaikan kualitas menjadi prioritas. Sayang, Pemerintah Daerah Sumba Timur secara khusus belum  memiliki pusat pembibitan kuda suma yang memadai.

Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora pernah mengungkapkan akan membangun pusat pembibitan kuda di daerah. Namun rencana itu tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Saat ini pusat pembibitan kuda masih bergabung dengan sapi dan kerbau. Namun pusat-pusat pembibitan di masyarakat sebenarnya cukup banyak.

Salah satunya adalah pusat pembibitan milik Sukianto Untono. Bahkan kuda-kuda hasil penangkaran Sukianto sudah menembus pasar nasional dan pernah mencetak prestasi di tingkat nasional.

Meskipun telah mencetak prestasi secara nasional, perhatian dan dukungan pemerintah daerah untuk prestasi olah raga berkuda masih rendah. Hal itu pernah dikeluhkan Sukianto ketika kudanya mencetak prestasi di tingkat nasional beberapa waktu lalu. Selain untuk kejuaraan di tingkat nasional, orang sumba sendiri mempunyai tradisi pacuan kuda tradisional. Pacuan kuda tradisional ini dilakukan oleh para joki yang masih berusia belia.

Dalam pacuan kuda tradisional ini para joki tanpa dilengkapi pengaman. Demikian juga dengan kuda yang digunakan dalam pacuan tradisional tersebut. Orang jatuh dari kuda dalam acara tersebut sudah biasa. Namun tidak pernah ada yang meninggal dunia karena orang sumba memiliki tata cara penyembuhan secara tradisional. Para joki yang jatuh dari kuda hanya disirami air yang didoakan para imam Merapu dan sudah bisa bangkit dan kembali mengikuti perlombaan.

Bagi orang luar Sumba ini mungkin menakutkan dan mengerikan. Namun bagi orang sumba, di sinilah tempatnya menguji nyali. Tidak hanya penunggangnya tetapi juga kecepatan dan daya tahan kuda. Orang rela taruhan puluhan juta rupiah untuk kuda jagoannya. Karena itu, tidak heran jika pagelaran pacuan kuda juga menjadi surga bagi para penjudi.

Tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak sekolah berseragam putih  merah, putih biru maupun putih abu. Itu sebabnya terkadang perlombaan pacuan kuda juga menjadi biang terjadinya konflik yang melibatkan massa dalam jumlah besar.

Lepas dari itu semua, peningkatan kualitas kuda sumba yang sudah menjadi ikon tanah Sumba harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah daerah. (adiana ahmad)


sumber: kompas.com
Read More >> Kuda Sumba

Anggota Paripurna Sumba Timur Gunakan Baju Adat

SUMBA- Anggota DPRD di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), diwajibkan untuk berpakaian adat pada setiap sidang pembukaan dan penutupan sidang. Bahkan jika membangkang, maka akan dikenakan sanksi.

Ketua Badan Kehormatan DPRD Muhamad Zein Bunga menjelaskan, langkah itu sebagai bentuk keprihatinan sebagai bagian dari upaya pelestarian tradisi dan budaya daerah.

“Ini sebagai salah satu upaya untuk melestarikan budaya daerah. Jadi pada saat memasuki masa sidang, khususnya pada saat pembukaan dan penutupan sidang pembahasan anggaran, setiap anggota DPRD juga kalangan eksekutif dan undangan yang hadir saat sidang wajib mengenakan pakaian adat tradisional. Khusus untuk anggota DPRD jika sebanyak tiga kali membangkang akan dikenai sanksi teguran keras, jika sampai enam kali maka sesuai Tatib akan diproses lebih lanjut oleh Badan Kehormatan dan Fraksi,” tegasnya, Kamis (26/1/2012)

Tak hanya itu, para peserta sidang yang membangkang tentunya akan merasa risih dengan peserta sidang lainnya, juga akan ditempatkan pada sisi lain di ruang sidang utama.

Sementara untuk kalangan eksekutif yang mengikuti sidang juga diwajibkan untuk berpakaian adat khas Sumba Timur yang didominasi kain tenun ikat setempat.

“Setiap pimpinan SKPD wajib mengenakan pakaian adat, saat mengikuti sidang DPRD. Jika melanggar, saya akan beri teguran keras. Hingga kini kami masih merancang aturan dan sanksi yang lebih keras bagi eksekutif yang melanggar. Selain tentunya sanksi moral dari masyarakat yang akan menilai figure yang bersangkutan tidak mencintai budaya dan kekahasan daerahnya,” tandas Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilidjora, kala dimintai penjelasannya usai pelaksanaan sidang.

Sejumlah pihak yang ditemui terpisah untuk dimintai tanggapannya mengungkapkan dukungannya hampir senada. Yakni adanya makna yang bisa dipetik berupa semangat untuk melestarikan budaya. Hingga tidak hanya diwajibkan dan didengungkan oleh petinggi negeri kepada rakyat dan kaum muda, namun juga mau memberi contoh konkret.

Eksekutif dan legislatif Sumba Timur, kali ini menunjukan contoh pada rakyat untuk tetap bangga dengan budaya dan tradisinya, tidak menginginkan penggantian toilet, sekalipun toilet DPRD tidak terlampau bersih, dan telah termakan usia. Tidak menjadi sebuah masalah asalkan masih bisa digunakan.
(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/crl)
Read More >> Anggota Paripurna Sumba Timur Gunakan Baju Adat

Minggu, 22 Januari 2012

Banjir di Sumba Rusak Jagung dan Hanyutkan Ternak Warga

SUMBA - Banjir di Kelurahan Temu dan Dusun Tai Manu, Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, NTT,  menghancurkan puluhan hektar kebun jagung milik warga. Tak hanya itu, puluhan ternak babi dan kambing milik warga ikut hanyut terbawa banjir.

Warga terkejut, kebunnya hancur karena banjir yang datang begitu tiba-tiba. Padahal hujan yang tidak terlalu deras turun hanya dalam waktu satu jam. “Banjir datang tiba-tiba. Saat itu saya masih di kebun habis bersihkan rumput di kebun jagung. Tiba tiba ada bunyi gemuruh. Ternyata air datang dari atas dan bawa kayu-kayu besar. Saya sempat terbawa banjir namun untung tersangkut di pohon dan ditolong warga lain. Tapi jagung dan ubi kayu saya rata tanah,” ujar Ama Nai, Kamis (19/1/2012).

Tak hanya kebun jagung  dan palawija yang masih berusia tidak lebih dari sebulan yang rusak. Warga juga mengeluhkan ternak babi, kambing dan ayam mereka yang hanyut kelaut terbawa banjir bandang yang berlangsung cepat tak lebih dari 30 menit.

Pemerintah setempat, melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilidjora, berjanji akan secepatnya memberikan bantuan darurat bagi warga yang terkena dampak banjir.

“Saya telah minta BPBD untuk mendata dan secepatnya memberikan bantuan darurat berupa beras dan mie instat serta ikan kaleng kepada warga yang terkena musibah ini. Kini bantuan dalam perjalanan kemari. Data sementara yang saya peroleh, sebanyak lebih dari 40 KK atau  lebih  dari 200 jiwa perlu segera dibantu,” jelas Gidion.
(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/fer)
Read More >> Banjir di Sumba Rusak Jagung dan Hanyutkan Ternak Warga

Polisi Pemukul Penjual Ikan Dihukum 7 Hari di Sel

Warga menonton video anarkis oknum polisi
SUMBA - Brigadir satu (Briptu) Polisi MPH pelaku pemukulan terhadap Hafid Harun (32), seorang penjual ikan, di kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT,  akhirnya menjalani sidang disiplin.

Briptu MPH, anggota satuan lalu lintas (Satlantas) Polres Sumba Timur ini, diperhadapkan pada sidang disiplin dan kode etik, di aula Mapolres setempat, karena sesuai hasil pemeriksaan dan penyidikan propam, terbukti melakukan tindakan yang menjatuhkan martabat polri, juga merugikan masyarakat yang semestinya dilindungi dan diayomi.

Sidang yang dipimpin oleh Wakapolres Sumba Timur, Kompol. Nugroho A.S, itu akhirnya menjatuhkan hukuman disiplin berupa penahanan di ruang khusus selama 7 hari dan penundaan mengikuti pendidikan bagi terdakwa.

Terdakwa di depan pimpinan sidang disiplin dan kode etik,  menyatakan menerima dan siap menjalani sanksi disiplin yang dijatuhkan oleh pimpinan sidang.

Adapun hal yang meringankan terdakwa yakni, yang bersangkutan mengakui perbuatannya, dan secara proaktif telah secara pribadi meminta maaf atas kekhilafannya, setelah peristiwa pemukulan terjadi. Juga  korban pemukulan dan keluarganya telah secara ihklas memberi maaf.
(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/fer)
Read More >> Polisi Pemukul Penjual Ikan Dihukum 7 Hari di Sel

Kamis, 19 Januari 2012

Warga Sumba Tak Bebas Lagi Bawa Parang Sembarangan

Stiker larangan membawa parang
SUMBA BARAT - Senjata tajam (sajam), khususnya parang, sangat identik dengan budaya warga di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tidak hanya dalam upacara adat parang dilekatkan di pinggang, dalam kehidupan sehari-hari pun barang berbahaya itu tidak lepas dari pinggang warga. Kebiasaan disadari atau tidak menimbulkan potensi konflik.

Warga sering kali dengan mudahnya menghunuskan parang dan menebas lawan hanya karena emosi sesaat.

Kapolres Sumba Barat AKBP Lily Aprianto mengatakan, akibat budaya membawa parang sudah korban berjatuhan.

“Sudah banyak jatuh korban, pada Desember 2011 saja sudah empat orang tewas. Semuanya karena tebasan parang. Kasus ini bermotifkan dendam, sakit hati, dan emosi sesaat,” ujar Aprianto, Selasa (17/1/2012).

Untuk itu, pihaknya secara terus menerus mengimbau warga tidak membawa sajam di tempat-tempat tertentu. “Kami juga akan menggelar razia dan sosialisasi pada warga dengan imbauan keliling dan penempelan stiker di tempat umum,” jelas Aprianto.

Polisi sudah melakukan sosialisasi dengan menempelkan stiker di rumah sakit, pasar, pertokoan, terminal, dan tempat umum lainnya. Stiker yang ditempelkan selain berisi larangan, juga sanksi hukum bagi pelanggarnya yakni 10 tahun penjara, sesuai Undang-Undang Darurat Tahun 1951.

Langkah preventif ini mendapat respons positif dari warga. “Terus terang saya takut dan cemas. Hampir setiap hari saya lihat orang seliweran dengan parang di pinggang, bahkan ditenteng. Saya harap aparat bertindak tegas. Apalagi beberpa waktu lalu pernah ada yang saling tebas di depan kios saya,” jelas Rahma, seorang warga pendatang yang sehari-hari berjualan kelontong di Pasar Inpres Kota Waikabubak.

“Saya dukung pemerintah dan polisi. Asalkan jangan melarang kami membawa parang kalau pergi ke sawah atau kebun juga kalau ada urusan adat. Kalau di tempat umum boleh disita,” timpal Bada, warga asli Pulau Sumba yang saat temui masih memgegang parang.

(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/ton)
Read More >> Warga Sumba Tak Bebas Lagi Bawa Parang Sembarangan

Senin, 16 Januari 2012

Tabrakan Motor Vs Kuda Pacu, 1 Orang Tewas

SUMBA TIMUR - Tidak seperti di kota besar, di mana kecelakaan lalu lintas lebih sering terjadi di antara sesama pengendara motor, di Kota Waingapu,  Kabupaten Sumba Timur, NTT, pagi tadi, terjadi Lakalantas yang berbeda.

Yaitu antara pengendara sepeda motor dengan kuda pacu. Dalam insiden ini, seorang ibu tewas dan kuda pacunya patah tulang kaki serta menderita luka-luka. Adalah Senita Desenori (46) selepas mengantar anaknya ke sekolah dan berbelanja, harus meregang nyawa, setelah sepeda motor yang dikendarainya menabrak seekor kuda pacu yang tiba-tiba memotong ruas Jalan WZ Johanes, yang dilaluinya.

Meski sempat diberikan pertolongan pertama dan dibawa ke rumah sakit terdekat, nyawa ibu paruh baya ini akhirnya tak tertolong. Kini jenazahnya disemayamkan di kediamannya. Beberapa saat setelah kejadian, aparat lantas Polres Sumba Timur, langsung menuju lokasi dan melakukan olah TKP.

Sementara barang bukti kuda pacu yang terlibat dalam Lakalantas ini dititipkan dengan pengawasan aparat di rumah pemiliknya. Sedangkan barang bukti sepeda motor milik korban dibawa ke Mapolres guna proses hukum lebih lanjut.

“Jadi kudanya tidak diikat sempurna oleh pemiliknya. Saat sang ibu melintas pagi tadi selepas mengantar anaknya ke sekolah, tiba-tiba muncul kuda memotong jalan korban. Kaget dan tidak lagi mampu mengedalikan motornya hingga menabarak kuda. Korban jatih di badan jalan. Sempat diberikan pertolongan pertama dan dibawa ke rumah sakit namun nyawa korban tak tertolong. Kemungkinan karena darah dari lukanya dibagian kepala cukup banyak,” jelas Iptu. Anggara Rustamyono, Kasat Lantas Polres Sumba Timur, saat ditemui usai melakakan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Sementara itu, Feddy Tawa, pemilik kuda yang ditemui disekitar TKP, mengaku bahwa kuda pacu miliknya baru selesai dimandikan oleh pengerjanya. Lalu diikat sementara di pagar tetangga. “Kuda itu sebenar terikat setelah dimandikan oleh perawat kuda yang kerja di saya. Di ikat cukup kuat  di bale- bale. Namun kemudian oleh temannya dipindahkan dan dikat di bunga. Mungkin  ikatannya tidak kuat jadi lepas dan jadinya begini,” jelasnya.

Lakalantas yang  melibatkan pengendara kendaraan bermotor dengan ternak acapkali terjadi di Kabupaten Sumba Timur, akibat dari pola beternak  para pemilik ternak yang seiring melepas liar ternak, atau diikat serampangan, hingga sering lepas kontrol.

Kasus serupa sejatinya tidak sering terjadi, jika Peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang penertiban ternak, dan telah disahkan DPRD setempat, benar-benar di tegakkan secara optimal oleh pemerintah setempat.

(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/ful)
Read More >> Tabrakan Motor Vs Kuda Pacu, 1 Orang Tewas

Minggu, 15 Januari 2012

Lulus, Murid SD di Sumba Timur Tak Terima Ijazah

SUMBA- Meski telah dinyatakan lulus pada tahun lalu, hingga kini hampir 300 murid pada dua puluhan Sekolah dasar (SD) di Sumba Timur, NTT, belum juga menerima ijazahnya. 

Kondisi itu dibenarkan oleh Obed Hilungara, Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dinas PPO) Kabupaten Sumba Timur.

“Itu benar adanya. Ada beberapa sekolah yang Kepala Sekolahnya telah pensiun sejak Mei tahun 2011 lalu. Dan itu telah kami usulkan penggantinya sejak bulan Juni. Namun hingga sekarang masih belum juga ditetapkan penggantinya secara defenitif. Untuk tidak mengganggu proses belajar mengajar kami sementara tetapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah,” urai Obed.

Lebih jauh dijelaskan Obed, situasi ini sejatinya tidak sampai terjadi, jika mutasi para Kepsek lebih cepat diproses. Menurutnya, kelengkapan para guru yang diusulkan untuk menjadi Kepsek defenitif telah dimasukan sejak Juli tahun lalu ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sumba Timur.

“ Diharapkan bulan Agustus lalu atau paska lebaran, sekolah-sekolah itu telah memiliki Kepsek defenitif hingga bisa menandatangani Ijazah para siswa. Namun kenyataannya hingga kini belum juga terealisir.  Imbasnya tentu para murid yang telah lulus yang menjadi korbannya. Mereka hingga kini belum jua menerima ijazah.

Ketika melanjutkan pendidikannya ratusan murid itu hanya dibekali dengan surat keterangan lulus saja,” pungkas Obed.

Ditemui terpisah, Kepala BKD Sumba Timur, Lu Pelindima, tidak menampik hal itu. “ Benar adanya itu. Namun dalam waktu dekat, kami akan segera memprosesnya,” tukasnya singkat.  

(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/crl) - okezone.com
Read More >> Lulus, Murid SD di Sumba Timur Tak Terima Ijazah

Sabtu, 14 Januari 2012

Kapolda NTT Minta Polisi Brutal Ditindak Tegas

SUMBA TIMUR - Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) Brigjen (Pol) Ricky Sitohang meminta Kapolres Sumba Timur, AKBP I Made Dharmadi Giri menuntaskan kasus penganiayaan terhadap warga yang dilakukan polisi.

Ricky meminta Kapolres segera menggelar sidang disiplin dan memberi sanksi tegas kepada polisi yang menganiaya Hafid Harun (32), penjual ikan di Pasar Inpres Waingapu.

Hal itu disampaikan Ricky Sitohang saat melakukan kunjungan kerja ke Sumba Timur, Rabu (11/1/2012). Dalam kesempatan tersebut, Kapolda juga meminta maaf kepada korban pemukulan yang diundang khusus untuk hadir dalam pertemuan.

”Saya mohon maaf kepada korban dan keluarganya atas perilaku tidak terpuji anggota saya. Saya juga tegaskan agar jangan sampai kejadian serupa terjadi. Dan kepada oknum yang bersangkutan telah saya minta Kapolres untuk dalam waktu seminggu menuntaskan kasus ini dengan melakukan pemeriksaan, sidang disiplin hingga pemberian sanksi dan bila perlu ditahan selama 21 hari,” tegasnya.

Sebelumnya, Kapolres Sumba Timur bersama jajarannya telah berkunjung ke rumah Hafid Harun (32),  korban perilaku brutal oknum satuan lalu lintas berinisial M. Kapolres meminta maaf dan berdialog dengan masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Perpolisian Masyarakat (FKPM) kelurahan Kemala Putih, kecamatan Kota Waingapu.
(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/fer) - okezone.com
Read More >> Kapolda NTT Minta Polisi Brutal Ditindak Tegas

Kamis, 12 Januari 2012

Kapolres Sumba Timur Akui Anak Buahnya Aniaya Hafid

Hafid Harun, korban penganiayaan polisi
WAINGAPU - Kapolres Sumba Timur, AKBP Made Dharmadi secara legowo mengakui perilaku anak buahnya yang menganiaya Hafid Harun (32), penjual ikan di Pasar Inpres Waingapu.

Dia menjelaskan, penganiayaan yang dilakukan oknum polisi tersebut tidak patut ditiru. Dia memastikan hari ini juga akan membawa para pelaku dan jajarannya untuk datang ke rumah korban.

Langkah ini ditempuh sebagai bentuk simpati juga kembali menjalin silaturahim jajarannya dengan korban, khususnya, dan warga, pada umumnya.

Hafid Harun, korban penganiayaan, yang ditemui terpisah menyambut baik niat damai yang dikemukakan Kapolres Sumba Timur. Karena terharu, Hafid meneteskan air mata.

Air mata yang mengalir diakuinya sebagai bentuk kelegaan hatinya karena polisi nomor satu di Sumba Timur itu menuhi harapannya.

“Jika Pak Kapolres mau datang langsung bersama anggotanya yang memukul saya untuk memohon maaf secara langsung, saya juga manusia yang punya hati, pasti akan menerimanya. Apalagi jika mereka turut meminta maaf pada keluarga, saya yakni kakak dan mama saya terima permohonan maaf itu,” tuturnya terpisah.

“Saya juga berterima kasih juga buat kawan dan saudara wartawan yang turut mengangkat persoalan ini,” jelasnya dengan terbata-bata seraya meneteskan air mata haru.

Aksi pemukulan yang dilakukan polisi saat malam tahun baru lalu, menarik simpati rekan korban. Perkumpulan pedagang ikan di Pasar Inpres Waingapu meminta agar Kapolres Sumba Timur menindak anggota yang bersalah, dan mereka berharap kasus ini tidak kembali terulang lagi.

“Kami berharapa kasus ini tidak lagi terulang. Tidak hanya pada kami dan rekan kami sesama penjual ikan, namun juga kepada masayarat kecil lainnya. Jika masih terjadi, kiranya pelaku dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Chenk, perwakilan pedagang, dan diamini sejumlah rekan penjual ikan lainnya.

(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/kem) - okezone.com
Read More >> Kapolres Sumba Timur Akui Anak Buahnya Aniaya Hafid

Senin, 09 Januari 2012

Empat Anak Tertimbun Longsor, Satu Tewas

Ilustrasi (Foto: Dok Okezone)
SUMBA TIMUR - Hujan dan angin kencang yang melanda Kabupaten Sumba Timur, NTT, sepekan terakhir berujung jatuhnya korban jiwa. Seorang anak usia delapan tahun tewas tertimbun tanah longsor, saat sedang bermain bersama tiga temannya di pinggiran tebing bekas galian di belakang sebuah rumah kosong.

Korban bernama Saputra Umbu Borang, bocah kelas tiga SD Inpres Papindung. Dia merupakan warga RT 14 RW 04 Kelurahan Mauliru, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur.

Kejadian berawal saat anak-anak ini sedang bermain selepas hujan berhenti. Mereka bermain di sekitar tebing bekas galian, tanpa memperkirakan terjadinya bencana. Saputra bersama sejumlah temamanya tertimbun, nyawa temannya berhasil tertolong, namun Saputra, saat ditemukan sudah tak bernyawa.

Ama Josua, saksi mata yang ditemui di sekitar lokasi menjelaskan bahwa kejadian berlangsung begitu cepat. Bahkan anaknya sempat juga tertimbun. "Ada teriakan dari ibu-ibu yang berkerumun disekitar TKP. Saat saya tiba, saya bersama warga lainnya hanya menggunakan tangan kosong angkat anak-anak. Namun Saputra saat ditemukan penuh darah di hidung, mulut, dan telinga. Kami bawa ke rumahnya untuk kemudian dimandikan dan disemyamkan," jelasnya.

Adapun jenasah korban hingga kini masih disemayamkan di rumah duka, dengan diringi isak tangis orangtuanya, Martha Rundi dan Yonathan Horo.

Sementara itu, Suryadi (7), teman bermain korban yang mengalami patah tulang belakang, hingga kini masih terus dirawat intensif di Rumah Sakit Kristen Lindimara. Adapun temannya yang lain telah diperkenankan pulang oleh pihak rumah sakit.

Tak hanya longsor, warga Sumba Timur juga harus terus waspada angin puting beliung dan banjir yang sewaktu-waktu bisa menyerang permukiman. Terdata dalam sepekan ini, delapan rumah rusak berat dilanda puting beliung. Sementara sebuah jembatan ambruk oleh banjir bandang. Akibatnya lebih dari 20 ribu jiwa warga Kecamatan Ngadu Ngala, Kabupaten Sumba Timur, hingga kini masih terisolir.

(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/ful)
Read More >> Empat Anak Tertimbun Longsor, Satu Tewas

Sabtu, 07 Januari 2012

Marapu

Marapu adalah sebuah agama lokal atau pun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan yang memuja nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.
Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Upacara keagamaan marapu ( seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah menjadi tradisi turun - temurun yang terus di jaga di Sumba.

AGAMA MARAPU
Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship). Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Kehadiran para marapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah leluhur, bentuk agama yang disebut Marapu ini percaya juga akan bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia. Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak. Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka lakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara mereka. Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya. Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katode, tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas) dan uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalam luluku (bahasa puitis, berbait)disebut sebagai Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali. Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. (P. Soeriadiredja).
Read More >> Marapu