By: Fits Radjah
Rawan pangan kembali mengancam sejumlah desa di propinsi NTT, terutama dan terbanyak dialami Kabupaten Sumba Timur. Harian Kompas tertanggal 20 Agustus 2011, melaporkan bahwa ada 140 desa di Sumba Timur dimana 46.309 jiwa (10.955 kepala keluarga) mengalami status rawan pangan.
Peristiwa rawan pangan di NTT terutama di Kabupaten Sumba Timur adalah bak “cerita berseri tanpa ujung”. Setiap tahun selalu terjadi secara tetap dan berulang dan berulang kembali. Bahkan di tahun 2011 ini, ancaman ini datang lebih dini. Menurut bpk mantan kepala desa Pambota Njara, bapak Umbu Maramba Mehang (masih dari laporan harian Kompas tersebut), kalau biasanya rawan pangan baru mulai terjadi pada sekitar bulan-bulan Nopember - Desember, tahun ini baru saja memasuki bulan Agustus warga desanya sudah mengalami kelaparan.
Indikatornya adalah sebanyak hampir 758 keluarga warga desa setempat sudah mulai melaksanakan “ritual tahunan” mereka, yaitu masuk ke hutan untuk mencari “IWI” sejenis umbi-umbi-an hutan yang terdapat di semak-semak belukar untuk dijadikan sumber makanan (karbohidrat) mereka sebagai pengganti Beras dan atau Jagung. Dan “ini adalah fakta”, bukan data yang “hanya” disusun di dalam ruang kantor saja! tegas beliau.
Sebenarnya, Iwi itu beracun, sehingga untuk dapat dikonsumsi oleh manusia dengan aman, proses memasaknya harus dilakukan berulang-ulang; dan sebelum dimasak harus diolah dengan “baik” terlebih dahulu (yaitu: Iwi dikupas, kemudian dipotong / diiris kecil-kecil, dimasukkan ke dalam karung plastik selanjutnya direndam ke dalam air sungai selama dua hari dan dua malam); karena jika tidak diolah dengan baik dan dimasak dengan benar, maka mengkonsumsi Iwi kerap akan menimbulkan mual, bahkan kematian. Sampai kapankah cerita Rawan Pangan di Sumba Timur ini akan berakhir? Haruskah Ubi Hutan Beracun selalu menjadi bahan utama makanan pokok warga Sumba Timur di saat-saat kelaparan akibat kekeringan berkepanjangan melanda “tanah marapu” ini? Haruskah menunggu sampai kondisi kabupaten Sumba Timur menjadi sama dengan Negara Somalia baru akan ada tindakan nyata yang tidak reaksional serta terkonsep oleh penyelenggara negara untuk mengatasi kerawanan pangan di ini?
sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/22/haruskah-menunggu-sampai-sumba-timur-somalia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar