Pages

Sabtu, 28 Januari 2012

Kuda Sumba

Kuda Sumba
Pada zaman dahulu, kuda sering dipakai sebagai kendaraan perang oleh masyarakat Sumba. Pasola merupakan salah satu bukti kepiawaian pria Sumba menunggang kuda sambil berperang. Pasola juga merupakan ritual masyarakat penganut kepercayaan Merapu untuk meminta berkah para dewa agar panen berhasil baik.

Di Sumba Barat, ritual Pasola diadakan setiap tahun, antara bulan Februari dan Maret. Pasola merupakan atraksi adat dalam bentuk perang-perangan oleh dua kelompok berkuda beranggotakan sekitar 100 orang. Mereka saling berhadapan bersenjatakan tombak berujung tumpul.

Dalam satu dasawarsa terakhir tombak diganti dengan kayu yang dibuat seperti tombak. Terkadang ada korban jiwa dalam pasola. Namun tidak bisa diproses secara hukum. Masyarakat setempat percaya bahwa korban yang meninggal dunia dalam ritual itu sebagai hukuman para dewa kepada yang bersangkutan.

Kuda-kuda di Sumba hidup bebas di padang pengembalaan. Tak ada pagar yang membatasi ruang gerak mereka. Kecuali kuda pacu, yang dipelihara khusus. Harga kuda pacu bisa mencapai ratusan juta rupiah.  Sumba, terutama Sumba Timur kemudian dikenal sebagai daerah penangkaran kuda pada abad ke-19 ketika Belanda mulai memperbaiki kualitas kuda sumba dengan cara mengawinkan kuda sumba dengan kuda arab. Kawin silang inilah yang menghasilkan kuda sumba yang dikembangkan masyarakat Sumba sampai saat ini.

Kuda sandel atau kuda sumba sampai sekarang masih merupakan jenis kuda dengan populasi terbesar di Pulau Sumba dan dikirim  ke luar  Pulau Sumba antara lain ke Sulawesi, Jawa,  Madura, Bali, Jakarta bahkan ke Kalimantan untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu.  Kuda Sandelwood terkenal karena kekuatan dan daya tahan yang tinggi. Kondisi alam yang tidak ramah itu telah membentuk kuda sumba sebagai salah satu jenis kuda dengan stamina yang kuat.

Daya tahan tubuh kuda sandel telah teruji secara nasional dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kelas penunggang terlama dan terjauh bersama penunggang asal Lembang, Jawa Barat, Billy Mamola pada Agustus 2008 lalu di Lembang, Jawa Barat. Kuda  Sumba mampu menempuh perjalanan  500 kilometer dari Lembang, Jawa Barat sampai ke Pangandaran, daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Sebagai pencinta kuda, Billy Mamola mengaku menjatuhkan pilihan pada kuda sumba karena kuda sumba mempunyai kuku yang sangat kuat.   Bily mengaku kagum dengan kuda sumba karena postur dan kukunya kuat.  Kekuatan kuda sumba yang bertumpu pada kuku diperkirakan disebabkan kondisi alam Sumba yang tandus dan berbukit-bukit serta cara pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif atau  dilepas bebas merumput di padang. Jenis makanan kuda Sumba dari rerumputan liar, kata Billy, diperkirakan ikut mempengaruhi kekuatan dan daya tahan kuda sumba.

Tentu saja ke depan,  peningkatan kualitas kuda sumba tidak sepenuhnya diserahkan kepada alam. Perbaikan kualitas menjadi prioritas. Sayang, Pemerintah Daerah Sumba Timur secara khusus belum  memiliki pusat pembibitan kuda suma yang memadai.

Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora pernah mengungkapkan akan membangun pusat pembibitan kuda di daerah. Namun rencana itu tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Saat ini pusat pembibitan kuda masih bergabung dengan sapi dan kerbau. Namun pusat-pusat pembibitan di masyarakat sebenarnya cukup banyak.

Salah satunya adalah pusat pembibitan milik Sukianto Untono. Bahkan kuda-kuda hasil penangkaran Sukianto sudah menembus pasar nasional dan pernah mencetak prestasi di tingkat nasional.

Meskipun telah mencetak prestasi secara nasional, perhatian dan dukungan pemerintah daerah untuk prestasi olah raga berkuda masih rendah. Hal itu pernah dikeluhkan Sukianto ketika kudanya mencetak prestasi di tingkat nasional beberapa waktu lalu. Selain untuk kejuaraan di tingkat nasional, orang sumba sendiri mempunyai tradisi pacuan kuda tradisional. Pacuan kuda tradisional ini dilakukan oleh para joki yang masih berusia belia.

Dalam pacuan kuda tradisional ini para joki tanpa dilengkapi pengaman. Demikian juga dengan kuda yang digunakan dalam pacuan tradisional tersebut. Orang jatuh dari kuda dalam acara tersebut sudah biasa. Namun tidak pernah ada yang meninggal dunia karena orang sumba memiliki tata cara penyembuhan secara tradisional. Para joki yang jatuh dari kuda hanya disirami air yang didoakan para imam Merapu dan sudah bisa bangkit dan kembali mengikuti perlombaan.

Bagi orang luar Sumba ini mungkin menakutkan dan mengerikan. Namun bagi orang sumba, di sinilah tempatnya menguji nyali. Tidak hanya penunggangnya tetapi juga kecepatan dan daya tahan kuda. Orang rela taruhan puluhan juta rupiah untuk kuda jagoannya. Karena itu, tidak heran jika pagelaran pacuan kuda juga menjadi surga bagi para penjudi.

Tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak sekolah berseragam putih  merah, putih biru maupun putih abu. Itu sebabnya terkadang perlombaan pacuan kuda juga menjadi biang terjadinya konflik yang melibatkan massa dalam jumlah besar.

Lepas dari itu semua, peningkatan kualitas kuda sumba yang sudah menjadi ikon tanah Sumba harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah daerah. (adiana ahmad)


sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar