Stiker larangan membawa parang |
SUMBA BARAT - Senjata tajam (sajam), khususnya parang, sangat identik dengan budaya warga di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tidak hanya dalam upacara adat parang dilekatkan di pinggang, dalam kehidupan sehari-hari pun barang berbahaya itu tidak lepas dari pinggang warga. Kebiasaan disadari atau tidak menimbulkan potensi konflik.
Warga sering kali dengan mudahnya menghunuskan parang dan menebas lawan hanya karena emosi sesaat.
Kapolres Sumba Barat AKBP Lily Aprianto mengatakan, akibat budaya membawa parang sudah korban berjatuhan.
“Sudah banyak jatuh korban, pada Desember 2011 saja sudah empat orang tewas. Semuanya karena tebasan parang. Kasus ini bermotifkan dendam, sakit hati, dan emosi sesaat,” ujar Aprianto, Selasa (17/1/2012).
Untuk itu, pihaknya secara terus menerus mengimbau warga tidak membawa sajam di tempat-tempat tertentu. “Kami juga akan menggelar razia dan sosialisasi pada warga dengan imbauan keliling dan penempelan stiker di tempat umum,” jelas Aprianto.
Polisi sudah melakukan sosialisasi dengan menempelkan stiker di rumah sakit, pasar, pertokoan, terminal, dan tempat umum lainnya. Stiker yang ditempelkan selain berisi larangan, juga sanksi hukum bagi pelanggarnya yakni 10 tahun penjara, sesuai Undang-Undang Darurat Tahun 1951.
Langkah preventif ini mendapat respons positif dari warga. “Terus terang saya takut dan cemas. Hampir setiap hari saya lihat orang seliweran dengan parang di pinggang, bahkan ditenteng. Saya harap aparat bertindak tegas. Apalagi beberpa waktu lalu pernah ada yang saling tebas di depan kios saya,” jelas Rahma, seorang warga pendatang yang sehari-hari berjualan kelontong di Pasar Inpres Kota Waikabubak.
“Saya dukung pemerintah dan polisi. Asalkan jangan melarang kami membawa parang kalau pergi ke sawah atau kebun juga kalau ada urusan adat. Kalau di tempat umum boleh disita,” timpal Bada, warga asli Pulau Sumba yang saat temui masih memgegang parang.
(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/ton)
Tidak hanya dalam upacara adat parang dilekatkan di pinggang, dalam kehidupan sehari-hari pun barang berbahaya itu tidak lepas dari pinggang warga. Kebiasaan disadari atau tidak menimbulkan potensi konflik.
Warga sering kali dengan mudahnya menghunuskan parang dan menebas lawan hanya karena emosi sesaat.
Kapolres Sumba Barat AKBP Lily Aprianto mengatakan, akibat budaya membawa parang sudah korban berjatuhan.
“Sudah banyak jatuh korban, pada Desember 2011 saja sudah empat orang tewas. Semuanya karena tebasan parang. Kasus ini bermotifkan dendam, sakit hati, dan emosi sesaat,” ujar Aprianto, Selasa (17/1/2012).
Untuk itu, pihaknya secara terus menerus mengimbau warga tidak membawa sajam di tempat-tempat tertentu. “Kami juga akan menggelar razia dan sosialisasi pada warga dengan imbauan keliling dan penempelan stiker di tempat umum,” jelas Aprianto.
Polisi sudah melakukan sosialisasi dengan menempelkan stiker di rumah sakit, pasar, pertokoan, terminal, dan tempat umum lainnya. Stiker yang ditempelkan selain berisi larangan, juga sanksi hukum bagi pelanggarnya yakni 10 tahun penjara, sesuai Undang-Undang Darurat Tahun 1951.
Langkah preventif ini mendapat respons positif dari warga. “Terus terang saya takut dan cemas. Hampir setiap hari saya lihat orang seliweran dengan parang di pinggang, bahkan ditenteng. Saya harap aparat bertindak tegas. Apalagi beberpa waktu lalu pernah ada yang saling tebas di depan kios saya,” jelas Rahma, seorang warga pendatang yang sehari-hari berjualan kelontong di Pasar Inpres Kota Waikabubak.
“Saya dukung pemerintah dan polisi. Asalkan jangan melarang kami membawa parang kalau pergi ke sawah atau kebun juga kalau ada urusan adat. Kalau di tempat umum boleh disita,” timpal Bada, warga asli Pulau Sumba yang saat temui masih memgegang parang.
(Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/ton)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar