By: Kudel
Perjalanan ke Sumba Penuh Kenangan
Dulu, aku mungkin tidak bermimpi menginjak tanah Sumba. Tanah yang jauh dari tempat asalku Surabaya, tanah yang sebagian besar berupa sabana dan stepa dikelilingi gunung-gunung kapur cadas menjulang. Kisahku bermula dari sebuah penugasan negara, aku ditempatkan di Sumba Timur NTT sebagai Dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) periode tahun 2009 sampai 2010. Pulau Sumba NTT, daerah yang mungkin anda belum pernah dengar bukan? Sumba adalah Pulau seribu awan, aku menyebutnya demikian karena dikelilingi beraneka awan mengelilingi atas langit Sumba. Tempatku PTT, Puskesmas Nggongi Kecamatan Karera merupakan Kecamatan lama yang sudah terbentuk. Menurut peta yang terpampang di dinding Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur (Dinkeskab Sumba Timur) Puskesmas Nggongi berada di kilometer 160 dari kota Waingapu, ibukota Sumba Timur. Kecamatan Karera merupakan daerah kerajaan, Bapa Raja masih hidup dengan usia yang udah senja. Bapa Raja mempunyai hamba (semacam abdi dalem) yang patuh dan setia pada perintah sang Bapa Raja. Orang Sumba sendiri banyak yang mengetahui tempat PTT-ku ini, sebab Karera adalah daerah penghasil jambu mente dan sentra ternak seperti kerbau, babi, kuda dan kambing. Hanya dokter laki-laki yang di tempatkan disana, sudah lama tidak ada tambahan dokter karena medan yang relatif jauh dan transportasi yang susah ditembus. Jarak tempuh dari Waingapu ke Nggongi memakan waktu 4-5 jam bila perjalanan dilakukan dengan sepeda motor dan angkutan umum, jangan harap angkutan umum yang nyaman, angkutan ini hanyalah sebuah truk yang tidak hanya mengangkut manusia tapi juga hewan yang akan dijual di kota. Tentu bisa dibayangkan kecepatan bus dengan menghitung jarak tempuh dengan waktu tempuhnya. Aku baru tahu (anda tidak akan tahu bila tidak meihatnya sendiri) ketika menuju Puskesmas Nggongi tempat-ku bertugas untuk pertama kalinya. Perjalanan dari Waingapu ke Karera melewati Puskesmas lainnya antara lain Tanarara dan Kananggar setelah itu baru Nggongi. Jangan harap perjalanan bakal menyenangkan, kiri kanan jurang terjal dan dalam diantara gunung-gunung cadas dan melewati sungai-sungai kecil. Diantara keterbatasan transportasi itu, dalam benakku Sumba punya potensi alam yang luar biasa. Perjalanan menuju Nggongi memang berat namun pemandangan sungguh indah di mata, tanarara banyak terdapat tanah-tanah yang berwarna merah dan bangunan makam megalitikum tepat didepan rumah masing-masing penduduk. Pada waktu SK penempatan turun, Dinkeskab paling akhir menempatkan aku karena butuh mobil khusus dan supir yang mengenal medan ke Karera. Kecamatan Karera sebenarnya memiliki potensi yang besar tapi kurang digarap secara maksimal. Listrik disana ada 12 jam, air mandi memakai sumur dengan menimba sendiri dan kebetulan ada sinyal Telkomsel yang udah masuk Kecamatan. Karera setelah pemekaran terdiri dari 5 desa yaitu Nggongi, Nangga, Tandula Jangga, Praimadita dan Janggamangu. Telkomsel masuk baru 4 tahun yang lalu, sebelum ada signal Telkomsel akses perdagangan menjadi terhambat. Padahal Karera adalah sentra penghasil jambu mente dan sentra ternak seperti kerbau, babi, kuda dan kambing. Sekarang dengan adanya sinyal Telkomsel kehidupan Karera menjadi berubah, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidupnya. Tiap bulan sinyal ini kadang mati 1-2 hari karena beban pemakaian penduduk desa yang relatif sangat tinggi dan menggantungkan Telkomsel untuk sekedar menghubungi kerabat di kota maupun bertransaksi dagang. Maklum hanya Telkomsel yang mampu masuk pedalaman Sumba Timur. Selama 9 bulan aku ditempatkan di Karera, kemudian dipindahkan ke Kecamatan baru pemekaran di Ngadu Ngala sebagai Kepala Puskesmas. Ngadu Ngala yang baru pemekaran, masih dirasakan jauh tertinggal dengan kecamatan Karera karena belum ada sinyal telepon disana. Janganpun sinyal, listrik desa saja harus memakai genset desa yang cuma menyala 6 jam per harinya dan hari pasar cuma ada pada hari Jum’at. Bisa ditarik benang merah daerah Ngadu Ngala belum semaju Kecamatan lain seperti Karera.
Kekayaan Alam dan Budaya Sumba Warisan Dunia
Rumah Adat dan Makam Para Raja Sumba |
Namun aku bersyukur ditempatkan disini, Sumba terkenal mempunyai warisan budaya tinggi. Pulau yang terkenal dengan sebutan sandlewood ini merupakan surga bagi penikmat jaman prasejarah. Bangunan khas berupa megalitikum merupakan kekayaan tersendiri di Pulau Sumba. Di setiap sudut desa dan kampung begitu mudah Anda menemukan menhir—batu besar seperti tiang atau tugu yang ditegakkan di tanah, sebagai perlambangan arwah nenek moyang yang telah meninggal. Begitu juga dolmen—monumen prasejarah berupa meja batu datar yang ditopang tiang batu, dolmen tersebar di tiap-tiap kampung. Bangunan megalitikum terkait erat dengan kehidupan sebagian masyarakat Sumba yang menganut agama tradisional Marapu. Marapu merupakan agama asli orang Sumba sebelum disentuh pengaruh agama Kristen. Meskipun kini, Marapu semakin terpinggirkan akibat tergerus arus modernisasi. Ketika saya disana saya sempat mengikuti upacara perkawainan. Begitu beruntungnya saya, karena upacara perkawinan menyimpan daya tarik tersendiri. Upacar perkawinan menarik ketika terjadi pembicaraan mengenai belis (mas kawin). Sebab, belis dalam rupa ternak itu bisa mencapai puluhan hingga ratusan ekor kuda, kerbau, babi dan sapi yang harus diserahkan ke keluarga perempuan. Budaya belis menjadi budaya yang turun-temurun terutama perkawinan yang melibatkan kaum maramba (darah biru). Sumba juga terkenal akan kain tenunnya yang berharga mahal, tenun ini dicari wisatawan asing. Untuk baju adat, kaum pria mengenakan kain tenun ikat “Hinggi” dililitkan kepinggang dengan ikat pinggang dan parang yang ditancapkan kedalam kain tenun dan ikat pinggang. Mereka juga memakai ikat kepala yang dibuat dari tenun ikat. Kain ikat ditenun menggunakan motif binatang dan manusia. Di Sumba Timur, umumnya tenun ikat berwarna dasar hitam dengan motif berwarna. Tenun ini bisa didapatkan di Kecamatan Rindi, ujung barat Sumba Timur. Tenun disana merupakan warisan langsung kerajaan di daerah Rindi, jadi bisa ditebak kain motifnya halus dan mempunyai nilai artistik tinggi. Setiap hari Jum’at PNS disana diwajibkan memakai baju tenun ini seperti memakai batik di Pulau Jawa pada hari-hari tertentu. Daerah kerajaan memang masih ada di Sumba, namun eksistensinya mulai tergerus jaman. Bila anda ke Sumba, anda dapat menuju kampung adat di Desa Rende. Disana masih banyak ditemukan rumah adat dan kuburan batu adalah sebagai simbol kehidupan dan kematian. Bila anda ingin memancing, Sumba adalah salah satu spot mancing di Indonesia. Mancing mania sebuah stasiun TV sering mengambil gambar di Sumba, monster-monster giant trevally, dogtooth tuna, amberjack dll merupakan buruan pemancing. Di Sumba Timur juga kaya akan pantainya, pantai Tarimbang adalah pantai terkenal di antara backpacker asing. Sekitar pantai ada home stay penduduk yang dikelola pak Marthen di Kecamatan Tabundung.
Kehangatan Penduduk dan Toleransi di Sumba
Budaya khas dari tanah ini adalah mengunyah sirih pinang, mereka tidak sungkan memberikan kepada setiap tamu yang datang sebagai tanda persahabatan. Sirih pinang kata penduduk disana sebagai lisptik yang tidak mampu dibeli, begitu guyonan mereka. Sirih pinang sudah membudaya lama, sirih yang dicampur pinang dan dimakan dengan kapur ini akan terasa pahit bila tidak biasa mengunyahnya. Meskipun dengan mengunyah sirih pinang membuat ludah mereka berwarna merah. Penduduk Sumba juga mempunyai warisan budaya berupa cium Sumba melalui menempelkan kedua hidungnya sebagai tanda persaudaraan. Ini sudah menjadi tradisi yang berjalan turun temurun terutama bila sudah lama tidak bertemu saudara jauh. Selain sirih pinang anda akan disajikan dengan kopi Sumba yang nikmatnya luar biasa, kopi ini merupakan hasil perkebunan warga yang kemudian ditumbuk sendiri. Anda bakal merasakan aroma kopi yang enak dan pas ketika di lidah. Saya sebagai seoramg muslim di pedalaman Sumba memang harus menjaga makanan, terutama yang halal. Namun di Karera maupun Ngadu Ngala anda tidak akan diberikan masakan makanan yang dicampur babi. Penduduk setempat pasti akan mempersilahkan saya atau Kepala Puskesmas Nggongi yang muslim untuk menyembelih ayam kampung yang mereka persiapkan. Dan yang anda harus ketahui, mereka menyuruh kita menyembelihnya dengan tata cara Islam dan mereka akan memasaknya dengan cara terpisah dengan makanan mereka yang mengandung babi. Ini biasanya dilakukan bila kita lagi melakukan Puskesmas Keliling maupun acara adat seperti kematian. Toleransi yang sungguh diidam-idamkan yang jarang kita temui. Upacara kematian menjadi atraksi tersendiri karena bila yang meninggal dari keluarga maramba, mereka akan memotong kerbau yang ditebas hanya dengan sekali tebasan parang dan kerbau harus langsung mati. Dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan secara gratis ke penduduk sekitar. Di pedalaman Sumba memang masih tradisional tetapi mempunyai budaya dan toleransi yang tinggi.
Potensi budaya, kekayaan alam yang melimpah ruah di Indonesia khususnya kawasan timur harus dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa ini, jangan sampai dikuasai bangsa lain. Dan tentunya Anda harus mencoba pergi ke Sumba!
I love Sumba...
0 komentar:
Posting Komentar